Minggu, 16 Maret 2014

Dimension

Where do we live?
Is this right is this wrong?
Is this hurting is this comforting?
Where do we live?
Are we standing in the right line?
In the same line?
Where do we live?
I am breathing, aren't I?
Are you?
Is it Oxygen, Nitrogen?
Where do we live?
On earth? on my world on your world?
Can you prove it?
Can I?
Where do we live?
Where is tree? Where is water?
Where is butterfly where is lion?
Where do we live?
What is future what is past?
Is it good is it bad?
Which one should we keep?
Where do we live?
Wrong answer or brilliant?
Where do we live?
Book is it? Song is it?
Where do we live?
How is your voice how is mine?
Who are you who am I?
Shall we speak?
What to say?
Where do we live?
Is it dark is it shiny?
Is it red is it blue?
Why is everything blurring?
Where do we live?
No.
We don't live.
We are just two things who watching, thinking, wondering, pretending, observing, and hoping people.
We are only dimensions.

Stop questioning everything.

Minggu, 09 Maret 2014

Jakarta, tahun 1998

Siapa yang ga tau tragedi di Jakarta pada tahun 1998? Dikenal sebagai tragedi Mei 98, atau tragedi semanggi. Seperti yang kita tau tragedi ini bermula dari terbunuhnya 4 mahasiswa Trisakti (Jakarta) yang ikut berdemonstrasi di Semanggi. Krisis memuncak, kondisi makin ga stabil, sampai dengan pembantaian sadis warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Saya, waktu itu usia 8 tahun. Saat kejadian itu berlangsung, saya bener-bener-sama-sekali-gak-tau-apa-apa-tentang-kondisi-dijalan. Yang saya tau, terbunuhnya mahasiswa Trisakti, dan supermarket dekat rumah (Hero) itu dibakar dan dijarah. Saya tau itu dari teman saya yang merupakan tetangga saya. Saat itu saya cuma "Wah? Dibakar? Kenapa?". Pada saat itu juga, keluarga kami mengalami kesulitan yang cukup datang secara berdekatan, dan pada saat itu saya gatau (dan jujur aja baru saya tau saat udah dewasa). 

1. Kakak laki-laki (waktu itu 17 tahun) dan papa saya kena demam berdarah.

Dia dirawat dirumah sakit Pelni. Cukup jauh dari rumah. Waktu itu saya cemburu karena mama lebih banyak waktu di rumah sakit daripada dirumah. Saya sama kakak perempuan saya dirumah, sebenarnya, tapi saya tetep merasa ga enak karena ga ada orangtua. Saya nangis, marah, kesel. Saya ga inget banget siapa yang duluan masuk rumah sakit, ayah saya atau kakak saya. Pokoknya akhirnya mereka satu kamar di rumah sakit dan saya, dilarang ikut jenguk (saya pikir karena saya masih kecil, tapi setelah dipikir-pikir, bukan itu alasannya).

Waktu umur saya 21, mama saya ngingetin saya kondisi waktu itu. Katanya saya pernah bilang "Mama jahat, cuma ngurusin mas Furdan aja!". Dan disaat yang sama, mama cerita kalau waktu mama baru dateng kerumah sakit untuk ngerawat mas Furdan, mas Furdan nangis sambil bilang "Mama darimana aja? Mama cuma ngurusin Rara aja dirumah!" sambil meluk mama dan nangis. Denger cerita itu, saya langsung sedih. Saya mikir gimana rasanya jadi mas Furdan, yang badannya demam tinggi, di rumah sakit, meskipun sama papa, tapi tetep ga ada yang ngerawat. Pasti sedih dan kesepian banget. Terlebih, saya mikirin perasaan mama. Mama sendirian, pikirannya kepecah antara aku yang masih kecil, mas Furdan yang juga terbilang masih kecil, dan kondisi jalanan yang mengerikan.

Kemarin tanggal 8 Maret 2014, saya sama orangtua saya duduk disebuah kafe, dan mama lagi-lagi cerita soal kejadian tahun itu. Mama bilang begini, "Dulu, waktu mas Furdan masuk rumah sakit tahun 98, Rara sempet nangis-nangis bilang kalo Rara mau sakit aja supaya sekalian masuk rumah sakit, jadi mama juga ngurusin Rara. Waktu itu Rara sama sekali gatau kondisi jalan seremnya kayak apa."

Papa juga cerita, "Sempet Ra, papa lagi nyetir mobil, bensin itu bener-benerrrrr udah mepet. Bukan karena kurang, seharusnya itu cukup buat perjalanan pulang. Tapi karena pas pulang papa terus menerus kejebak kebakaran di jalan, papa harus muter cari jalan lain, berkali-kali. Padahal itu udah sampe di Srengseng, udah deket banget sama rumah, eh disitu juga ada kebakaran, mobil ga bisa lewat. Bensin udah mau abis, akhirnya baru deh nemu jalan lewat tol. Untuuuuuuuuuuuuuuung masih bisa sampe rumah."

Mama ngelanjutin, "Mama pake kaca mata item karena emang mama sakit mata aja disuruh ngelepas sama papa."

Papa jawab, "Iya. Soalnya setiap mobil yang lewat selalu diperiksa apa yang nyetir dan penumpangnya pribumi atau bukan. Kalau nanti orangliat mama pake kacamata item, mereka bisa mikir kita ini orang kaya, sombong, atau mungkin nyembunyiin orang Tionghoa, bisa habis kita. Di jalan itu kayak neraka Ra".

.........................................semua itu saya gatau waktu umur saya 8 taun.

2. Tabungan orangtua habis

Papa yang udah lama merintis usaha dari nol, terpaksa ikut kena imbas krisis moneter di tahun itu. Tabungan habis, kantor harus pindah. Uang bener-bener ga ada. Wujud nyata dari perempuan tangguh itu emang ada di diri mama. Mendukung apapun keputusan suami, bukan 'terima jadi' suami yang udah dari sananya mapan, tapi terus menerus ngedukung sampe dititik terendah usaha dan kerugian papa. Tetep ada waktu papa ga punya apa-apa. 

Klimaksnya ada pada waktu yang ga terlalu jauh dari itu, papa sempet kena tipu, papa dibohongin sama seseorang dan papa ga menerima perlakuan yang adil. Mama yang sangat sakit hati, dan saya mau bilang apa? Mama yang menyaksikan usaha mati-matian papa, lalu ngeliat ada orang yang menipu tapi justru dibebaskan begitu aja. Tapu subhanallah, papa memang manusia super sabar. Emang awalnya papa ikutan kesel, saya inget banget waktu pertemuan malem-malem yang ngebongkar semua kasus itu ada, papa pulang dengan ngebut, mama marah-marah, aku ketakutan. Tapi ga lama setelah masalah itu, papa bisa ikhlas maafin si penipu walaupun......... sampai detik ini orang yang menipu sekalipun ga pernah mengucapkan kata "Saya minta maaf".

Jakarta tahun 98, entah berapa perempuan yang menjadi korban asusila, entah berapa nyawa sudah hilang sia-sia, entah berapa hati yang sudah disakiti, entah berapa orang yang usaha baiknya tidak dianggap, entah berapa banyak perut yang tidak bisa makan di tahun itu.

Terima kasih ya Allah, dibalik itu semua, Engkau sudah mengembalikan kondisi menjadi lebaih baik dan melindungi keluarga kami. 

Sabtu, 08 Maret 2014

Day #30 : Your Reflection in The Mirror

Our last day babyyyyyyyyyyyyyyyyy. After long days we haven't met, finaly me and my partrer decide to finish our challenge this day. 7th MARCH IS MY BIRTHDAY. HURRAAAAA!

First of all, I do like to force all of you to say "HAPPY BIRTHDAY RARA" and give me loads good wishes. Right here. Right now.

muahahahahahahaha. 

Okay, di hari terakhir ini tantangannya adalah menjelaskan tentang apa yang gue lihat dari diri gue sendiri....
Mungkin dalam tulisan ini kalian rada mual-mual, kejang, sumpah serapahin gue, atau malah bilang 'yea, I know'.

Saat gue memandang diri gue sendiri, yang pertama gue liat adalah fisik gue (yaeyalah). Gue kurus, kadang gue merasa sangat kurus. Tapi  setelah gue liat pipi gue.............................? tembem ya.. Ini aset gue. uyeah. Gue cakep, seenggaknya kata ortu gue gitu, dan seenggaknya gue memuji mahakarya Allah SWT. :"). Hidung gue eksotik, bibir gue bak angelina jolie, alis mata gue seperti Fatima Alkaff, pokoknya gue cantik! Gue berambut pendek dan gue bangga (*.*)9. 

Yang kedua gue liat adalah penampilan gue. Gue urakan. Gue seringkali ga memerhatikan penampilan gue sendiri, dan ini dipertegas dengan beberapa temen kos gue (baik yang di Surabaya, maupun di Malang) yang suka komen "Kamu tuh rambutnya di roll kek, kamu tuh rapi dikit toh ra biar manisan dikit".

Gue: iya, besok.

*besokannya: bangun siang, ga sempet lagi. Berangkat kuliah dan kerja mepet waktu*

Yang ketiga yang rada serius.Gue memandang ke dalam jiwa gue.................................................................

JIWA.

Jiwa gue sehat, alhamdulillah. Gue memandang jiwa gue penuh dengan seni. Iya, gue cinta dan adiktif pada seni. Gue penikmat seni, apapun itu. Sekalipun kadang gue ga ngerti tentang arti dari karya seni yang gue liat, tapi gue selalu terkagum-kagum dan bisa betah di tempat yang memamerkan seni. Baik itu lukisan, musik, fotografi, apalagi tarian. I do love art. So much. Gue juga memandang diri gue sendiri sebagai pelaku seni. Gue bisa nari, sedikit main piano, sedikit menggambar, sedikit mendesign, dan suka nulis.

Ketika gue melihat diri gue sendiri, gue memandang ke seseorang yang ingin sekali bisa bekerja di dunia seni tapi terlanjur nyemplung ke dunia teknik dan akhirnya menjalani yang sudah ada. 

Ketika gue memandang diri gue, gue melihat anak umur 12 tahun yang masih suka kartun, yang masih merasa anak-anak, hanya saja memiliki tanggung jawab untuk masa depan sebagai orang yang sudah dewasa. Gue selebor, gue kekanak-kanakan, gue masih suka kartun, dan gue sebel sama anak-anak bandel :|

Oh ya, gue bukan pecinta anak-anak, dan juga bukan pembenci. Gue ngeliat mereka biasa aja, kecuali emang lucu banget sih. Tapi gue ga tahan sama anak kecil yang udah ngomong kayak orang gede, dan pinter ngeboong. Gue selalu membandingkan dia dengan gue sendiri semasa kecil. Payah ya? 

Saat gue melihat diri gue sendiri, gue melihat anak yang ga bisa bohong atas perasaan gue ke oranglain. Gue ga bisa pura-pura. Apa yang ga gue suka, gue ga bisa pura-pura baik, dan gitu juga sebaliknya. Selain itu, saat gue melihat diri gue sendiri, gue melihat seseorang yang cuek....

Iya, ini rada parah.... cuek.....

Tapi, dari sekian banyak hal yang gue liat dari diri gue sendiri, gue adalah orang yang bisa meng-keep orang-orang yang gue sayang, gue ga sarcasm, dengan temen gue apalagi temen yang gue anggep super-deket, gue milih untuk membicarakan langsung kekurangan temen gue, bukan justru menyindir mereka... Gitu.

Udah deh, see you when I see you. See you on the next challenge! Tunggu sampe Sarah nemu tantangan baru yang lebih berbobot! Daaaaaaaaaaaaaaaa, byeeeeeeeeeeeeeee, auf wiederseheeeeen, tschues, bis dann!!

Sabtu, 01 Maret 2014

Day #29 : The Person You Want to Tell to but Too Afraid to

Sebelum nulis ini, partner gue ngeline gue katanya mati kutu. Sedangkan gue gatau mau nulis siapa.

Sekarang ini, akhir-akhir ini, menit ini, detik ini, rasanya ga ada yang ngebebanin gue dan pengen gue ceritain rahasia apa-apa. Sama sekali. Ga ada. 

Lagian, apa yang mau gue ceritain? Siapa yang mau gue ceritain juga? 

Mungkin kalo bulan2 lalu itu gue pengen banget cerita semua yang gue alamin sampe ke inti-intinya ke nyokap gue.

Jadi, mungkin akan gue angkat bagian bulan lalu aja. Meskipun sekarang kemauan itu uda ga ada lagi dan ga takut lagi sih.

Jd sempet beberapa bulan lalu rasanya gue pengen banget cerita ke nyokap gue tentang semua masalah yang gue alamin. Sebenernya nyokap gue juga menyadari sikap gue yang rada ga ceria kayak biasanya. Nyokap gue mencium aroma gue lagi stres. Tapi gue ga cerita. Sebenernya mau banget. Tapi takut. Takut sama respon yang akan gue dapet. Takut kalo nantinya nyokap gue malah ikutan stres dengernya. 

Jadi gue putuskan untuk ngelawan keinginan gue untuk bercerita walau sebenernya di hati dan otak kayak uda ngempet pengen keluar. Pengen lega. 

Gitu aja sih.