Tampilkan postingan dengan label Rinjani and Birawa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rinjani and Birawa. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Agustus 2014

Jakarta dan Senja

Maaf udah setaun gak nulis tentang mereka. Here we go again!

--------------------

Saya masih bercinta dengan pena dan buku ini. Di sebuah toko roti yang tidak seberapa mahal seperti kawan sebangsanya. Di duai oleh secangkir teh tanpa gula yang belakangan ini tengah kubiasakan.

Halo Jakarta. Tanah kotor-ku, becekan bau-ku, polusi udara-ku, langit pucat-ku, senja muram-ku. Halo. Aku disini memelukmu (lagi).

Sesekali ku lirik sudut waktu di pojok kanan bawah laptopku. Empat sore, katanya. Bukankah tidak ada yang lebih hidup daripada menikmati senja dengan hal yang paling ingin kita lakukan? Bukan terjebak di asrama, bukan tertimbun bayangan buku kampus, bukan dihalangi layar komputer ruang kerja, bukan pula hanya bersetubuh dengan kasur yang tidak akan kemana-mana jika kita tinggal.

"Jangan lupa nafas!" Teriak seorang pria dengan ponsel di telinganya dari jarak 5 meter dariku. Tawanya lebar sekali. Aku menerka-nerka dengan siapa dia bicara.

Dari sudut mataku pukul dua, ada seorang ayah bersama balita perempuan di pangkuannya. Dua tahun kelihatannya. Dia usap rambut si kecil cantik itu. Aku jadi ingat ketika aku masih sebagai Rinjani cilik. Aku menangis karena mamaku tidak menuruti apa yang aku mau, tapi ketika aku melewati sebuah tempat sampah, lalu banyak lalat yang terbang, aku tiba-tiba saja lari dan memeluk mamaku. Beliau membelai kepalaku dan tertawa "Cuma lalat, Jani".

Pukul empat lewat tiga belas, katanya. Seminggu yang lalu aku masih berada di kampus itu, tidur di rerumputan, iPod terpasang memutar lagu 'Joe' dari the Cranberries, dengan pikiran menerawang ke salah satu kota di negeri Perancis. Terbayang lagi wajah Birawa terakhir dengan gitar di punggungnya. 

Perancis itu negeri yang biasa saja. Biasa saja. Aku tidak ingin kembali kesana, bahkan aku tidak ingin kesana ketika aku belum pernah kesana. Tapi kenanganku didalamnya yang tidak tergantikan. (Kalau lupa, coba baca kisahku yang terdahulu).

Ponselku bergetar. 

"Birawa"

Ternyata bukan.

Teh ku habis, waktu yang ku lirik setiap saat juga terus berubah angka, pandanganku sudah kemana-mana. Tapi Birawa juga belum muncul. Bahkan tidak menghubungi.

Aku menunggu. Seperti ketika aku tertidur di Bodensee ketika menunggunya tiba. Seperti ketika aku menunggu ia bicara sambil menatap wajahnya, hanya mata yang resah selama beberapa menit. Tapi semua kisahku menunggunya selalu berakhir baik. Kali ini pun harus, pintaku.

Empat lewat dua puluh, katanya.

Benar saja, senja semakin mengambil alih. Beberapa pasangan lalu lalang, yang sendirian dan sibuk dengan ponselnya pun tidak mau ketinggalan, bahkan perempuan-perempuan yang sepertinya tidak jauh berbeda denganku pun juga lewat. 

Ponselku bunyi, telepon masuk. Mama. 
"Pulang jam berapa?"

Pertanyaan yang tidak akan berubah berapapun usiaku selama aku belum menjadi isteri siapapun. Aku jawab aku akan pulang setibanya Birawa disini. Sangat menyebalkan ternyata menunggu. Sekalipun yang kutunggu adalah makhluk bersyair seperti Birawa. 

"Kamu dimana? Biar aku yang kesana." Kata seorang perempuan dengan lawan bicaranya melalui ponsel.

Kadang aku iri dengan ponsel, ia bisa mengambil alih jarak, ruang, waktu, bersama dengan orang yang sangat ingin kita temui. Bukan, bukan iri. Kadang aku benci dengan ponsel. Semua kebohongan datang dari sana juga. 

Empat lewat empat puluh lima. Beberapa kali aku melihat pria berambut sebahu mirip dengan Birawa, tapi itu bukan dia. Berkali-kali aku mengira langkah tak bersuara yang mendekati mejaku adalah dia, ternyata hanya pengunjung lain toko ini. Berkali-kali aku mengira pemilik backpack itu adalah dia, ternyata orang lain. Begitu terus.

"Matahari sudah redup, Birawa. Kamu dimana..." Tanyaku.

Aku coba menghubunginya, tapi tidak terhubung.

Kuputar lagu yang sama seperti minggu lalu, kali ini versi Birawa. Ia menyanyikannya dengan ponsel dan mengirimkan untukku. 

"... There was a time, I was so lonely.
Remember the time, it was in Friday..
You made me feel fine, we did it my way..
I sat in your knees, every Friday..

We walked in fields of golden hay..
I still recall you..
We walked in fields of golden hay..
I see you in the summer..."

Sampai langkah yang kutunggu mendarat tepat di depan mejaku, dengan senyum dan keringat khasnya.

Jakarta, senja, pada pukul lima sore lebih satu.

Senin, 15 April 2013

Rinjani dan Birawa (II)

"Ada banyak yang lain yang bisa memenangkan hati kamu. Ada banyak alasan kenapa kamu nggak harus milih aku. Apa yang ada di aku sekarang, nggak lebih baik dari apa yang bisa oranglain kasih untuk kamu."

Kata Birawa. Matanya marah, tidak melihat ke arahku, melainkan jauh memerhatikan keluar jendela sana.


"Birawa, bukan 'sesuatu' yang membuatmu memenangkan aku. Bukan apa yang terlihat dari kamu yang bisa membuat aku yakin. Tapi, semua yang selama ini tidak pernah nampak dari kamu dan ditangkap oleh mataku, mampu membuat aku yakin, bahwa bukan sebuah kesalahan aku sekarang ini ada untuk kamu."

........................................................................

Minggu, 14 April 2013

Rinjani dan Birawa (I)

Suatu malam, dia yang bercelana jeans lusuh, kaos 'The Beatles', dan converse abu-abu yang udah keliatan berwarna putih itu berdiri dengan muka serius didepan aku. Jelas dong, aku bertanya-tanya, orang 'slengean' ini kok tumben mukanya bisa serius? Dan, ini kota dingin banget, orang-orang aja pake syal, masih menggigil. Ya, dia juga pake syal sih. Tapi keningnya keringetan.

Dia 'ngosekin' kakinya ke jalan, masukin tangan ke kantong kiri-kanan celana jeansnya, dan membuang nafas lewat mulut. Muka serius, tapi diem aja.
"Ra, kenapa sih kita kesini? Katanya ga suka tempat rame?"
Aku beraniin tanya ke dia.

Dia noleh sebentar ke aku, tapi habis itu noleh ke kanannya, dengan alis masih berkerut serius.
"Iya, aku ga suka tempat ini. Terlalu banyak orang pacaran, rame."
Jawabnya.

Aku mulai kesal, kalo ga suka kesini ya kenapa kesini? Terus mukanya kayak orang lagi dikejar tukang kredit gini. Kayaknya dia lagi ada masalah.
"Yaudah Ra, kalo gitu kita main ke tempat lain aja. Ini juga dingin banget, lagi bersalju begini.."
"Engga Rin. Nanti dulu. Bentar yah." 
Sekarang jawabnya sambil senyum.. dikit..

Yaudah deh, berhubung dia yang ngajak kesini, ke tempat yang sebenarnya kata orang romantis tapi buat kami enggak-banget ini, ya aku nurut aja. Toh aku mau pulang juga ga berani sendirian. Too much stranger here.

Lima menit kemudian, kami masih jalan-jalan kecil di lokasi ini. Sampai akhirnya aku bosen juga.
"Ra, serius deh. Pulang aja yuk."
"Bentar Rin."
Katanya sambil memasang mata teges.
"Kenapa? Kok mukanya serem gitu?!"
"Duh, maaf, aku ga bisa masang muka ga serem kayaknya. Hehe."
"Terus bentar kenapa? Kita ngobrol di tempat lain aja."
"Jangan dong, disini aja."
"Kamu nih ngeheranin deh. Katanya ga suka tempat ini. Tapi ngajak temen kamu kesini. Udah sampe sini, kitanya mirip TKI ilegal yang lagi spy masyarakat lokal. Diajak pulang, gak mau."
"Mau tau kenapa aku kekeuh banget minta disini dulu?"
"Iya, kenapa?"
Dan Birawa-nya diem lagi sampe sekitar 10 detik.
"Penasaran aja, pengen buktiin kalo kata orang-orang bener, tempat ini romantis. Meskipun sampe detik ini belom ketauan dimana sisi romantisnya."
"Hhhhhh, yaudah sambil cari tempat duduk, gimana? Pegel berdiri terus,"
"Tapi aku yakin kurang dari 30 menit lagi tempat ini bakal terbukti romantis." Katanya sambil TETAP ga pindah posisi berdiri. 
"Kenapa gitu?" 
"Gak suka sama suatu tempat itu ga seru. Jadi aku pengen jadiin tempat yang awalnya aku ga suka, jadi suka."
"Caranya?"
"Gini ya, Rinjani.." 
Tiba-tiba matanya udah ga melengos kanan-kiri, tapi tajem ke muka aku. Aku mendadak ciut. 
"Kok-serem-lagi" 
Kataku pelan. 
"Ga perlu tempat bagus, ga perlu tempat mahal, ga perlu baju rapi, cukup begini aja. Asalkan kamu bersedia untuk nikah sama aku, hari ini dan tempat ini bakal jadi kenangan yang paling indah buat hidup aku...."
Tangan kiri Birawa keluar dari kantong jeans nya dan menggenggam kotak hitam. Iya, hitam, bukan merah kayak di film-film. Dan buka kotak tersebut didepan aku, anak orang yang orangtuanya nun jauh dimana, kebingungan, mulut nganga. Ini sangat tidak romantis. Okelah, ini romantis. Setidaknya bagi kebanyakan orang diajak menikah ditempat seperti ini dianggap sangat romantis. 

Cincinnya sederhana, warna perak, tidak ada permata, hanya berukiran inisial B.

"Rinjani, jangan diliat aja cincinnya. Maaf aku bukan orang kaya. Tapi aku janji, ini cincin sementara kok."
Aku speechless. Jadian aja gak pernah. Selama ini kayak temenan aja. Sekalinya ngomong, langsung ngajak nikah?! Dan sambil ngasih cincin???? Astaga!
"... Aku mau suka sama tempat ini dengan cara seperti ini, Rin."  
Lanjutnya.
"Terus?" 
Tanya ku. Oke, marahlah sama aku. Diajak ngomong serius begini, matanya nusuk begini, aku malah bilang 'terus?' ???.
"Ya kamu bersedia apa enggak." 
"Terus kalau aku engga mau? Aku bakal masuk ke dalam golongan kenangan jelek dong?"
"Hmm. Kayaknya sih kamu ga akan cocok masuk ke dalam kotak kenangan jelek, Rin. Jadi, jawab 'iya' aja ya, jangan enggak.."
"Dan kalau aku tetep gak mau?"
"Aku bakalan tiap hari nanyain kamu kapan kamu maunya. Karena kamu terlalu bagus buat masuk ke kotak kenangan jelek, Rin."
"Sekarang gini ya. Kita kenal udah dari 10 tahun yang lalu. Cuma kenal. Ketemu lagi di tempat kuliah, tapi kamu sama siapa, aku sama siapa. Sekarang, di tempat yang jauh banget dari rumah, ga sengaja ketemu lagi sama kamu, dalam kondisi berbeda. Tapi, sekalipun kamu ga pernah bilang kalau kamu sayang kah sama aku, atau gimana. Eh, tiba-tiba kamu ngasih cincin beginian terus berani ngomong nikah?!"
Jawabku sambil penasaran dan (mungkin setengah) kesal. 

Birawa nunduk. Tapi hanya sebentar, kemudian balik lagi ngasih mata tajemnya ke aku.
"Iya. 9 tahun tau kamu, 3 bulan kenal kamu, 5 bulan aku jatuh hati sama kamu, dan satu kalipun aku gak pernah bilang cinta atau sayang. Kenapa? Karena mereka berdua itu adalah kata kerja. Kata kerja bukan harus diucapkan dalam kalimat. Sama seperti 'walking'. Ga perlu aku bilang sama jalan yang aku laluin "I walk you". Sayang sama cinta itu kata kerja. Yang perlu kamu tau adalah, semua yang aku lakukan selama 8 bulan ke kamu adalah bentuk kerja 'sayang' aku sama kamu. Dengan jagain kamu, temenin kamu waktu kamu butuh, melindungi kamu, tanpa perlu aku bilang aku sayang kamu. Aku hanya merasa, aku lebih pantas membuktikannya daripada mengatakannya. Tapi, Rinjani, kalau kamu benar-benar butuh kalimat itu, aku pasti kasih."
Sekarang gantian, aku yang diam. Lebih lama daripada diamnya Birawa tadi. 

Aku harus ngomong apa? 
Baiklah, mungkin aku harus tanya..
"Aku dikasih waktu?"
"Ini bukan kuis, Rin. Kalau kamu mau, ya bilang mau. Kalau enggak, besok aku tanya lagi."
Gila ini orang. Dilain sisi, dia ini seorang musisi yang bisa bikin syair bagus-bagus, dilain sisi, dia berpendapat ga suka bilang sayang, dilain sisi, dingin banget ngomong 'ini bukan kuis, Rin' pas lagi nagajak nikah anak orang!

Tapi, well, siapa lagi orang yang bisa begini kayak Birawa? Tanpa perlu basa-basi, tanpa perlu tampil sempurna, dia udah melakukannya nyaris sempurna.

Jadi....
"Iya, aku bersedia. Bersedia ngejadiin tempat yang kamu ga suka ini jadi tempat yang paling berkesan buat kamu. Aku bersedia.."
Kelanjutannya?

-Rinjani Aurora Tunggadewi-

........................................................................

Fatima, 
@magicalofrara