Operasi papa berjalan cukup cepat, sekitar jam 11 waktu Penang, cleaning service Bangladesh itu
mendekati saya dan mama lalu bertanya “Keluarga siapa? Hj.Chayun keh?” Kami
jawab iya. Lalu dia bilang “Kondisi bapak bagus. Sudah selesai. Smua berjalan
lancar.” Kami lega bukan main. Tapi anehnya, suster belum ada yang keluar dan
memanggil kami. Padahal katanya, kalau operasi telah selesai pasti kami
diberitau. Ini justru CS yang memberitaukannya. Saya dan mama mulai curiga
kalau si CS ini agak sok tau. Sekitar setengah jam kemudian barulah suster
keluar dan memanggil saya. Iya, saya yang dipanggil. Saya ditanya umur, status
dalam keluarga apa. Kemudian saya dijelaskan bahwa papa mengalami pendarahan
dan mungkin akan butuh darah. Saya lemes. Takut. Saya selama ini tidak pernah
donor darah, saya jujur saja takut dengan jarum suntik. Tapi pasti setakut2nya
saya, apapun akan saya lakukan untuk papa.
Saya dibawa ke bagian gedung lain dari RS itu. Saya harus mengisi formulir,
masa lalu penyakit, dan kondisi saya saat itu. Sialnya, sedihnya, kesalnya,
saat itu asma saya sedang kambuh. Si perawat bingung. Dan bilang “kapan kamu
terakhir ada minum obat?” saya jawab saya tidak minum obat, saya hanya
menggunakan obat semprot. Kemudian si perawat itu berdiksusi dengan perawat
lain. Dan si perawat datang pada saya “Ada ke keluarga lain yang ikut dengan
kamu?” saya bilang hanya ada saya dan mama. Mama tidak boleh mendonor karena
usianya sudah tua. Dan dia bilang sambil senyum menenangkan saya, “Maaf ya,
kami tak bisa ambil darah kamu. Nanti kamu justru bisa pingsan karena kondisi
kamu sedang asma.” Saya nangis. Lagi. saat itu saya gagal mengontrol pikiran
saya menjadi kembali positif. Si perawat berkata tidak perlu khawatir, dia akan
mencarikan darah untuk ayah saya.
Saya kembali ke ruang tunggu keluarga pasien. Saya merasa salah karena
sakit. Kenapa harus dalam kondisi begini. Satu jam kemudian kami dapat kabar
kondisi papa sudah stabil. Kami disuruh pulang untuk istirahat dan sorenya kembali
lagi saat papa sadarkan diri. Saya dan mama pulang dan mengistirahatkan diri. Jam
4 waktu penang saya bangun dan bersiap-siap. Lalu kejadian buruk (lagi-lagi)
harus saya hadapi. Mama saya jatuh sakit. Vertigo beliau kambuh. Berkali-kali
muntah dan tidak bisa berdiri. Mama menyuruh saya untuk ke RS liat papa. Tapi saya
bingung, kalau saya pergi mama bagaimana? Kalau ada apa-apa gimana? Saya jalan
dengan pikiran ngawang. Benar-benar bingung rasanya. Di negeri orang,
sendirian, kedua orangtua sakit. (Saya nangis waktu menulis bagian ini). Sampai
di rumah sakit saya masuk ke ruang papa. Alhamdulillah beliau sudah sadar.
Pendarahan juga sudah mereda. Ekspresi lemah beliau mengingatkan bahwa segala
sesuatunya tidak akan ada yang bisa selalu kuat.
Saya bisikkan ke telinga papa “mama ga bisa dateng. Tapi insya Allah bsk
dateng kok” dan papa jawab sambil berbisik “gapapa. Biar mama istirahat.” Saya tidak
berlama-lama di RS karena pikiran juga terpecah ke mama. Saya beli buah asam
dan roti buat mama, dengan pikiran mama saat ini lagi stress, makan kurang ,
akhirnya vertigo kumat dan ambruk. Tapi mama bahkan buat makan pun ga bisa. Rasanya
lebih banyak yang dimuntahkan daripada asupan makanan yang masuk. Saya sms
suami dari teman kakak saya yang berprofesi sebagai dokter dan kebetulan orang
malaysia, beliau bilang “mama kamu harus dibawa ke rumah sakit. Panggil saja
ambulance”. Saya bingung setengah mati, bagaimana caranya mama saya ke rumah
sakit? Smua makanan yang saya beli tidak ada yang dimakan. Smua. Bahkan buat
bangun pun tidak bisa. Saya keluar lagi beli obat maag. Dijalan saya kembali
ngawang, sedih, sempat berpikir aneh-aneh. “Kalo saat ini saya yang mati
gimana? Orangtua saya gimana?” Lemes sekali rasanya. Sesaat begitu dapet obat
saya pulang. Tapi percuma. Mama tidak mau.
Saya menyeduh bubur untuk mama makan, saya suapin ke mama. Tapi mama Cuma bilang
“ntar” sambil lemes. Saya nangis lagi. Kali ini nangis bercampur marah. “Mama
kalo ga mau makan, ga mau minum obat, terus mama kapan sembuhnya? Mau entar
kapan? Mau muntahin apa lagi?” Akhirnya mama mau makan meskipun Cuma 3 sendok. Waktu
sudah malam. Saya pun seperti sudah tidak ada tenaga. Saya berpikir, ya
sudahlah, whatever will be will be. Toh saya sudah berusaha. Saya Cuma berdoa,
supaya besok pagi saya bangun semua sudah menjadi baik.
Esok paginya, Subhanallah, Alhamdulillah, semua sudah kembali normal. Mama
sudah membaik, sudah kuat berdiri dan ke RS. Sampai RS pun papa sudah jauh
lebih kuat. Bahkan, kata suster rata-rata pasien harus diinapkan di perawatan
khusus 2 hari, tapi papa hanya 1 hari, hari itu juga, 1 hari setelah operasi
papa bisa dibawa ke ruang perawatan biasa. Allah Maha Besar memang. Rasanya
bahagiaaaaa sekali. Kami menunggu sampai jam 11 di ruang tunggu tapi tidak ada
kabar papa sudah dipindahkan atau belum. Lalu si CS Bangladesh ini lagi-lagi
menghampiri saya dan bilang “Bapak sudah dipindah ke lantai 4.”
Oh ya sedikit cerita, CS Bangladesh ini baikkkkkk sekali. Dia yang
menenangkan kami, dia yang selalu mengabari kami walaupun itu sebenarnya bukan
tugas dia tapi tugas suster, tapi susternya lalai. Dia memberi saya voucher
makan (tapi sampai sekarang tidak saya gunakan, namun saya simpan), dan dia
memberitau saya dimana tempat makan yang bagus untuk muslim seperti kami.
Akhirnya, mama saya memanggil dia dan bertanya namanya. Dia bernama Syeikh
Jewel. Saat tau namanya, yang saya pikirkan adalah bahwa saya HARUS
MENCERITAKAN DIA DI DALAM BLOG SAYA. Mama bilang ke dia “kamu orang baik
Syeikh, terima kasih banyak.” Lalu orang ini berkata:
“Buat saya semua orang sama, tidak peduli dia siapa, agama apa, yang
terpenting dia baik, itu yang paling penting. Terima kasih kalau anda bilang
saya termasuk baik.”
Dan dia memberikan nomer teleponnya kepada kami. Saya akan selalu ingat
betapa baiknya orang ini terhadap kami.
*bersambung ke part 3*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar