Minggu, 27 Januari 2013

PENANG part 3 (finish)


Alhamdulillah..
Alhamdulillah..
Alhamdulillah..

Akhirnya masa sulit itu berlalu. Papa selesai operasi dengan baik, cepat pulih, dan paling cepat pulih dibanding semua pasien pada umumnya. Ini berkat kegigihan cinta mama ke papa yang sudah bertahun-tahun menjaga pola makan papa. Subhanallah. Mungkin ingat potongan lirik Payphone oleh Maroon 5?

“If happy ever after did exist, I will still be holding you like this”

Itulah mama terhadap papa. Karena aku selalu ingat, di suatu pagi mama pernah berkata pada saya sambil menangis, “kalau papa harus pergi, mama juga harus pergi. Karena mama ga bisa hidup sendirian tanpa papa.”

:’)

Papa diijinkan buat jalan-jalan karena dianggap fit. Biarpun papa semakin kurus dan kurus daripada dulu, saya tetap bersyukur, papa bisa melalui semua ini dan pulih. Waktu itu kami ke Bukit Bendera, atau Penang Hills. Sekarang saya tidak akan menceritakan bagaimana situasi disana. Saya hanya ingin menceritakan pelajaran apa yang bisa saya dapatkan dan TIDAK saya dapatkan disini.

Kami menyewa sebuah mobil kecil (semacam mobil buat dilapangan golf) beserta sopirnya. Sopir kami berasal dari India. Sepanjang perjalanan saya konsentrasi penuh atas apa yang dia bicarakan, maklum, logat melayu dan kecepatan bicara khas orang India. Dia menjelaskan beberapa rumah yang menjadi peninggalan sejarah (British) disana. Beberapa diantaranya sudah tidak dipergunakan, beberapa diantaranya dibeli oleh keluarga yang super duper kaya. Dan berasal dari China. Tdia bertanya kami datang darimana, dan kami menjawab dari Jakarta, Indonesia. Dia langsung berkata “Ah! Indonesia. Banyak sekali orang Indonesia yang datang kemari untuk berobat.” (lagi, jangan tanya saya mengapa bisa begitu).

Saya punya firasat, bahwa dia juga tidak menyukai apa yang terjadi dengan negara Indonesia dan Malaysia = tidak akur. Lalu dia berkata kepada kami.

“Kamu orang Indonesia. Saya orang India. Dan kita berada di Malaysia. Bagi saya itu tidak penting. Kulit kamu coklat, saya merah, hitam, mereka putih, kuning. Silakan kamu potong nadi saya. Apa warna darah saya? Pasti merah bukan?” Ku jawab iya. Lalu ia melanjutkan “Dan apa warna darah kamu? Apa cokelat? Hijau? Tentu merah kan? Lalu mengapa diluar sana begitu banyak orang yang mempermasalahkan perbedaan? Bahwa kita memiliki satu warna, merah. Kita memiliki satu cinta.”

Saat itu, saya mengerti apa yang ia maksud. Manusia sekarang sulit berpikir seperti anak-anak yang belum ternodai pikirannya. Cinta. Hal paling mendasar adalah cinta. Tidak peduli apapun, jika kita memiliki rasa cinta, semua akan baik-baik saja.

Saat itu saya bertanya, “mengapa disini bisa begitu damai? Kenapa tidak banyak orang-orang seperti orang ini? Kenapa harus ada perang Israel dan Palestine? Kenapa di Indonesia justru pembunuhan begitu brutal hanya karena fitnah yang sepele. Kenapa?”

Tidak bisakah kita berpikir murni tentang cinta? Seperti seorang anak? Dan teteap memupuknya sekalipun umur kita menua? Apa yang kita kejar selama ini? Berkelahi dengan negara tetangga, bahkan dengan saudara sendiri. Selalu memikirkan perbedaan. Tidak ingat dengan apa yang kita miliki bersama. Kita menuntut, bukan berbagi. Kita meminta, bukan memberi.

Itulah mengapa saya mencintai traveling. Bukan untuk bersenang-senang saja, namun lebih untuk memahami jalan pikiran banyak orang, mendapatkan pelajarn baru tentang hikmah hidup yang telah lama hilang.

Terima kasih kepada Allah SWT yang memberikan kami (saya, mama dan papa) kesempatan untuk mengenal Penang. Mengetahui slogan yang tidak-pernah-saya-temui di Indonesia “God heals, We help”, bahwa semua kecerdasan, kepintaran, pertolongan, semua berasal dari Tuhan. Kita hanyalah perantara. Dan tanpa kebaikan dan cinta kita tidak akan tumbuh menjadi perantara yang baik.
Penang, pulau sejuta pelajaran. Pulau yang mengajarkan kesederhanaan dan hakikat bahwa semua dari Tuhan, dan kita tak pantas bersombong. .

Seumur hidup aku tidak akan lupa terhadap 5 oktober 2012. Hari dimana aku berjuang tanpa yakin bisa melaluinya dan ternyata aku mampu.

Sekian

PENANG part 2


Operasi papa berjalan cukup cepat, sekitar jam 11 waktu Penang, cleaning service Bangladesh itu mendekati saya dan mama lalu bertanya “Keluarga siapa? Hj.Chayun keh?” Kami jawab iya. Lalu dia bilang “Kondisi bapak bagus. Sudah selesai. Smua berjalan lancar.” Kami lega bukan main. Tapi anehnya, suster belum ada yang keluar dan memanggil kami. Padahal katanya, kalau operasi telah selesai pasti kami diberitau. Ini justru CS yang memberitaukannya. Saya dan mama mulai curiga kalau si CS ini agak sok tau. Sekitar setengah jam kemudian barulah suster keluar dan memanggil saya. Iya, saya yang dipanggil. Saya ditanya umur, status dalam keluarga apa. Kemudian saya dijelaskan bahwa papa mengalami pendarahan dan mungkin akan butuh darah. Saya lemes. Takut. Saya selama ini tidak pernah donor darah, saya jujur saja takut dengan jarum suntik. Tapi pasti setakut2nya saya, apapun akan saya lakukan untuk papa.

Saya dibawa ke bagian gedung lain dari RS itu. Saya harus mengisi formulir, masa lalu penyakit, dan kondisi saya saat itu. Sialnya, sedihnya, kesalnya, saat itu asma saya sedang kambuh. Si perawat bingung. Dan bilang “kapan kamu terakhir ada minum obat?” saya jawab saya tidak minum obat, saya hanya menggunakan obat semprot. Kemudian si perawat itu berdiksusi dengan perawat lain. Dan si perawat datang pada saya “Ada ke keluarga lain yang ikut dengan kamu?” saya bilang hanya ada saya dan mama. Mama tidak boleh mendonor karena usianya sudah tua. Dan dia bilang sambil senyum menenangkan saya, “Maaf ya, kami tak bisa ambil darah kamu. Nanti kamu justru bisa pingsan karena kondisi kamu sedang asma.” Saya nangis. Lagi. saat itu saya gagal mengontrol pikiran saya menjadi kembali positif. Si perawat berkata tidak perlu khawatir, dia akan mencarikan darah untuk ayah saya.

Saya kembali ke ruang tunggu keluarga pasien. Saya merasa salah karena sakit. Kenapa harus dalam kondisi begini. Satu jam kemudian kami dapat kabar kondisi papa sudah stabil. Kami disuruh pulang untuk istirahat dan sorenya kembali lagi saat papa sadarkan diri. Saya dan mama pulang dan mengistirahatkan diri. Jam 4 waktu penang saya bangun dan bersiap-siap. Lalu kejadian buruk (lagi-lagi) harus saya hadapi. Mama saya jatuh sakit. Vertigo beliau kambuh. Berkali-kali muntah dan tidak bisa berdiri. Mama menyuruh saya untuk ke RS liat papa. Tapi saya bingung, kalau saya pergi mama bagaimana? Kalau ada apa-apa gimana? Saya jalan dengan pikiran ngawang. Benar-benar bingung rasanya. Di negeri orang, sendirian, kedua orangtua sakit. (Saya nangis waktu menulis bagian ini). Sampai di rumah sakit saya masuk ke ruang papa. Alhamdulillah beliau sudah sadar. Pendarahan juga sudah mereda. Ekspresi lemah beliau mengingatkan bahwa segala sesuatunya tidak akan ada yang bisa selalu kuat.

Saya bisikkan ke telinga papa “mama ga bisa dateng. Tapi insya Allah bsk dateng kok” dan papa jawab sambil berbisik “gapapa. Biar mama istirahat.” Saya tidak berlama-lama di RS karena pikiran juga terpecah ke mama. Saya beli buah asam dan roti buat mama, dengan pikiran mama saat ini lagi stress, makan kurang , akhirnya vertigo kumat dan ambruk. Tapi mama bahkan buat makan pun ga bisa. Rasanya lebih banyak yang dimuntahkan daripada asupan makanan yang masuk. Saya sms suami dari teman kakak saya yang berprofesi sebagai dokter dan kebetulan orang malaysia, beliau bilang “mama kamu harus dibawa ke rumah sakit. Panggil saja ambulance”. Saya bingung setengah mati, bagaimana caranya mama saya ke rumah sakit? Smua makanan yang saya beli tidak ada yang dimakan. Smua. Bahkan buat bangun pun tidak bisa. Saya keluar lagi beli obat maag. Dijalan saya kembali ngawang, sedih, sempat berpikir aneh-aneh. “Kalo saat ini saya yang mati gimana? Orangtua saya gimana?” Lemes sekali rasanya. Sesaat begitu dapet obat saya pulang. Tapi percuma. Mama tidak mau.

Saya menyeduh bubur untuk mama makan, saya suapin ke mama. Tapi mama Cuma bilang “ntar” sambil lemes. Saya nangis lagi. Kali ini nangis bercampur marah. “Mama kalo ga mau makan, ga mau minum obat, terus mama kapan sembuhnya? Mau entar kapan? Mau muntahin apa lagi?” Akhirnya mama mau makan meskipun Cuma 3 sendok. Waktu sudah malam. Saya pun seperti sudah tidak ada tenaga. Saya berpikir, ya sudahlah, whatever will be will be. Toh saya sudah berusaha. Saya Cuma berdoa, supaya besok pagi saya bangun semua sudah menjadi baik.

Esok paginya, Subhanallah, Alhamdulillah, semua sudah kembali normal. Mama sudah membaik, sudah kuat berdiri dan ke RS. Sampai RS pun papa sudah jauh lebih kuat. Bahkan, kata suster rata-rata pasien harus diinapkan di perawatan khusus 2 hari, tapi papa hanya 1 hari, hari itu juga, 1 hari setelah operasi papa bisa dibawa ke ruang perawatan biasa. Allah Maha Besar memang. Rasanya bahagiaaaaa sekali. Kami menunggu sampai jam 11 di ruang tunggu tapi tidak ada kabar papa sudah dipindahkan atau belum. Lalu si CS Bangladesh ini lagi-lagi menghampiri saya dan bilang “Bapak sudah dipindah ke lantai 4.”

Oh ya sedikit cerita, CS Bangladesh ini baikkkkkk sekali. Dia yang menenangkan kami, dia yang selalu mengabari kami walaupun itu sebenarnya bukan tugas dia tapi tugas suster, tapi susternya lalai. Dia memberi saya voucher makan (tapi sampai sekarang tidak saya gunakan, namun saya simpan), dan dia memberitau saya dimana tempat makan yang bagus untuk muslim seperti kami. Akhirnya, mama saya memanggil dia dan bertanya namanya. Dia bernama Syeikh Jewel. Saat tau namanya, yang saya pikirkan adalah bahwa saya HARUS MENCERITAKAN DIA DI DALAM BLOG SAYA. Mama bilang ke dia “kamu orang baik Syeikh, terima kasih banyak.” Lalu orang ini berkata:

“Buat saya semua orang sama, tidak peduli dia siapa, agama apa, yang terpenting dia baik, itu yang paling penting. Terima kasih kalau anda bilang saya termasuk baik.”

Dan dia memberikan nomer teleponnya kepada kami. Saya akan selalu ingat betapa baiknya orang ini terhadap kami.

*bersambung ke part 3*

PENANG part 1


Hai, lama saya ga nulis di blog ini, dan pada kesempatan ini saya mau berbagi sedikit cerita tentang pengalaman singkat saya di Penang. Kalau nanti tulisan saya panjang, bagi saya tetap singkat, karena cerita yang panjang hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah lama tingal di Penang.
Penang, sebuah wilayah kecil di negara Malaysia, hanya 2,5 jam dari Jakarta dan 45 menit dari Medan dengan transportasi udara. Ada dua wilayah pada Penang, yaitu Penang kepulauan, dan Penang daratan. Penang yang saya singgahi merupakan Penang bagian kepulauan. Orang wilayah sini asli menyebut Penang dengan sebutan Pinang, sedangkan orang barat menyebutnya Pineng, dan buat saya (orang Indonesia) menyebutnya persis seperti tulisannya, Penang.

Secara iklim wilayah ini tidak berbeda dengan Jakarta atau kota-kota lain di pulau Jawa. Namun lokasinya terdapat perbukitan hijau dan dikelilingi oleh teluk. Sedangkan untuk penduduk yang tinggal disini, terdiri dari 3 jenis warna kulit. Kulit merah yaitu India, kulit kuning yaitu China, dan kulit Sawo Matang yaitu Melayu.
Apa yang saya ingin ceritakan disini tidak semata-mata yang senang-senang saja, tapi lebih kepada apa yang saya pelajari disini. Baik dari apa yang saya lihat dengan mata, saya dengar dari telinga, ataupun yang saya rasa dari hati.

Tujuan utama saya kesini adalah untuk menemani kedua orangtua saya. Ayah saya harus mengalami pengobatan karena sakit jantung, dan dokter memvo is bahwa ayah saya harus di operasi bypass. Karena tidak mungkin Ibu saya seorang diri menjaga ayah saya, maka sayapun ikut. Pada awalnya, terus terang saja, saya sangat tidak semangat untuk ikut ke Penang. Ada dua hal, saya berada dalam waktu yang tepat untuk mencari kerja karena saya baru saja lulus, dan saya memang tidak seberapa tertarik dengan Malaysia. Karena dua hal ini, saya sedih harus ikut ke Penang, Malaysia. Tapi karena ini demi orangtua saya, ya saya harus mengesampingkan ketidaksenangan saya itu.

Saya berangkat ke Penang pada tanggal 2 Oktober 2012 pukul 18.00 WIB dari Jakarta. Pada hari pertama kami sampai, kami menginap di hotel Georgetown City. Lokasinya di seberang jalan persis dari rumah sakit yang akan ayah saya tuju, yaitu Penang Adventist Hospital. Awalnya lagi, saya kurang sreg harus kesini. Saya takut dapat sambutan yang kurang baik disini, dan banyak lagi hal-hal negatif yang saya pikirkan. Tapi rumah sakit ini sangat-sangat terkenal di wilayah Indonesia. Dan memang, untuk kasus penyakit jantung, sangat banyak berita baik datang dari rumah sakit ini. Kata orang-orang “Kalau untuk penyakit Jantung, Penang emang bagus banget”. Oke, semoga hal itu juga berlaku buat ayah saya.

Hari rabu, 3 Oktober 2012, papa mulai menemui dokter konsultan Jantung. Disini sistemnya pasien adalah raja, jadi boleh pilih dokter mana yang pasien mau. Saya tidak tau lengkapnya bagaimana, pokoknya papa saya akhirnya dapat dengan Dr. Calvin Tean. Selama menunggu juga, kanan kiri saya orang yang berasal dari Indonesia. Mereka juga ‘alumni’ bypass dari RS PAH ini. Mereka banyak sekali membantu, yang satu perempuan usianya kira-kira 70 tahun, dia menyarankan dengan dokter Simon untuk bedah. Kemudian yang satu lagi laki-laki, usia 64 tahun. Keuarganya banyak cerita, dan membantu soal penginapan. Katanya jangan di hotel, mahal, mereka merekomendasikan apartemen murah untuk kami selama proses pengobatan papa.
Kesan pertama yang saya dapat dari RS ini adalah, semua membaur. Saya terus terang saja sangat terharu melihat para pekerja. Apapun warna kulitnya, semua membaur jadi satu. Tidak ada sama sekali kesenjangan. Tidak peduli dia china, india, melayu. Dan, semua ramah. Saya tidak melihat ada satupun pekerja RS yang tidak ramah. Subhanallah, ini tidak pernah saya dapati sebelumnya.

Kamar hotel tempat saya menginap berada di lantai 19. Saya tidur tepat disamping jendela, dimana ketika saya melihat keluar, akan langsung terlihat bukit hijau membentang dihadapan saya. Seolah bisa saya gapai. Saya juga bisa melhat sekolah-sekolah dengan halaman yang luas untuk olahraga, sekalipun itu sekolah khusus perempuan. Seluruh kawasan hijau, rimbun, nyaman, jalanan teratur, semua saling menghargai satu sama lain.

Lanjut pada hari berikutnya dimana ayah saya harus sudah masuk ke RS, yaitu 4 Oktober 2012. Waktu saya jalan menuju RS, dijalan ada beberapa orang menyapa. Saya tidak kenal mereka, mereka juga tentu tidak kenal saya. Mereka tanya saya darimana, ada keperluan apa di Penang, siapa yang sakit, sakit apa. Jangan dipikir pertanyaan-pertanyaan itu ditanyakan dengan rasa curiga, justru mereka tanya itu semua dengan sangat-sangat-sangat ramah. Seperti ketemu teman dijalan. Saya merinding. Saya lahir dan besar di Jakarta, lalu kuliah di Surabaya. Tapi saya nggak pernah sekalipun mendapati kejadian seperti ini. Semua orang sibuk sama urusan masing-masing, boro-boro yang tidak kenal menyapa, yang sudah kenal saja, seringkali kalau sedang papasan malah nunduk, pura-pura ga liat. Sedangkan di Penang, Malaysia, yang saya lihat dari TV, atau media lainnya seolah kami (Indonesia-Malaysia) musuh, ternyata saya tetap diperlakukan sangat ramah. Saaaaaaaaaaaaangat ramah. Lalu jalan lagi di tempat berebeda, papasan dengan orang India Penang, dia sapa ‘Morning’. Kekeluargaannya erat sekali disini. Saya merasa sangat bodoh kalau selama ini mudah di provokasi oleh ulah politik, jadi benci Malaysia. Buat apa benci itu selama ini?

Pada tanggal 4 ini, saya dan mama harus pindah ke aparemen supaya biaa untuk tinggal tidak terlalu mahal. Saya yang ditugaskan untuk mengurus tempat tinggal kami ini. Akhirnya saya dapat penginapan, pemiliknya orang Thailand. Ahh, ini dia. Orang-sini-sangat-menghargai-waktu. Jika dia janji memberi informasi via apapun, dia akanb tepati waktunya seperti apa yang dia bilang di awal. Mrs.Joe nama pemiliknya. Dia berjanji pada saya untuk menghubungi saya pukul 7.30 waktu Penang. Tidak seperti kebanyakan kalau ini janji dengan orang Indonesia (jangan tersinggung, kita semua tau bagaimana orang kita sangat kurang disiplin soal waktu), sebelum 7.30, dia sudah menelpon saya. Kalau janjian dengan orang kita sendiri, 7.30 itu bisa berarti jam 8, lebih-lebih sedikit juga tidak masalah. Lalu ia berjanji pukul 12.30 waktu Penang akan jemput saya di hotel. Sebelum jam itu, saya berada di RS bersama papa dan mama saya. Sekitar pukul 11.30 saya pulang ke hotel untuk membawa barang saya dan siap-siap pindah ke guetshouse. Saya duduk di lobby sambil menunggu orang dari guesthouse jemput saya. Benar saja seperti janjinya, sebelum pukul 12.30 Mrs Joe sudah menelpon saya menanyakan apa saya sudah siap. Tidak sampai setengah jam, orang yang menjemput saya pun datang. Saya bersama dia, anak laki-lakinya, sepertinya seusia saya, jalan kaki menuju guesthouse. Waktu menunjukkan belum pukul 12.30. Indonesia, negeri tercintaku, tidak bisakah kita sedisiplin orang-orang ini meskipun untuk hal-hal sekecil ini??

Lanjut pada hari berikutnya, tanggal 5 Oktober 2012. Hari dimana Maroon 5 konser di Jakarta (ini penting!), dan hari papa operasi. Kami bangun pukul 5 pagi waktu Penang, atau pukul 4 pagi WIB, karena suster sudah memperingatkan kami untuk menemui papa pukul 6 pagi, karena pukul 6.30 papa sudah harus disuntikkan obat tidur menjelang operasi. Pagi itu hujan, kami terpaksa pinjam payung milik orang penginapan. Sampai di RS, papa baru saja mandi sabun antiseptik. Setelah mandi, suasana mulai gak enak. Suster memberikan kami 1 tempat duduk lagi untuk kami agar kami bertiga bisa duduk dan berdoa untuk operasi. Allahuakbar, kami diberikan waktu khusus untuk berdoa. Mereka memperhatikan kebutuhan pasien dan keluarga hingga ke detail-detailnya. Lalu papa memanggil saya untuk bilang ini, “Rara, maafin papa ya. Maafin papa kalau papa selama ini ada salah.” Saat itu, mau tidak mau, suka tidak suka, akhirna saya menangis. Padahal sebelumnya saya sudah janji untuk tidak nangis. Setelah itu, saya memilih untuk keluar kamar. Saat itu saya berpikir, semua pikiran negatif dapat membangkitkan energi negatif terhadap kondisi, dan begitu juga sebaliknya. Jadi, saat saya keluar kamar saya hanya menatap keluar jendela sambil berpikir “Besok pas papa sembuh, kita jalan2 kemana ya?” sampai akhirnya saya bisa mengatasi rasa takut saya.

Tidak lama setelah itu, dua orang perawat datang kekamar papa untuk membawa papa ke ruang operasi. Tangis mama tidak terbantah, aku sekuat tenaga senyum dan melambaikan tangan kearah papa dan berkata tanpa suara “Semangat, papa!” Waktu menunjukkan pukul 7 pagi waktu Penang, atau pukul 6 pagi WIB. Saya dan mama menunggu diruang tunggu keluarga operasi. Disana, ada seorang cleaning service dari Bangladesh. Dia baik sekali kepada seluruh keluarga yang menunggu. Oh ya, sekedar informasi, hampir 80% pasien yang sedang di operasi pada waktu ayah saya di operasi adalah orang Indonesia. Jangan tanya saya mengapa bisa begitu.