Kamis, 15 Agustus 2013

Secarik peringatan

Kayu jati berjajar di kiri dan kanan, kokoh memadukan sebaris cahaya emas. Kaki-kaki lemah berjalan beriringan, ada yang semangat, ada yang santai, ada yang terlalu lelah. Mereka berjalan menelusuri jajaran kuat jati. 

Kasar. Kata itu yang dapat menggambarkan situasinya. Diantara pilihan yang ada, mereka memilih membulatkan tekad untuk terus berjalan. Meski dengan kesakitan, dan segala amarah. Tidak saling percaya, memang. Berjalan beriringan, tanpa bicara satu sama lain. Beberapa kali salah satunya tersandung, ada yang menendang kerikil hanya untuk menghapus bosan. 

Jati pun tak berdaun. Tidak ada yang bisa digugurkan. Rautnya lemah, tapi tubuhnya kuat. Berbeda jauh dari para pejalan. Gambaran apa ini?

Ah, lupakan.

Ingat saja tekad utama. Sampai dengan selamat, tiada kurang tiada rugi. Agar semua senang. Tapi tunggu, apa itu cukup? Tidak. Ada yang salah. 

Si pemilik kaki semangat menunjukkan antusiasnya. Energinya seperti bintang jatuh, semakin mendekati target, semakin cepat dan terbakar. Angkasa senang memerhatikannya. Tapi untuk apa?
Lain halnya dengan si pemilik kaki santai. Ia menikmati setiap liku, tanjakan, turunan yang ia hadapi. Ia nyanyikan deruan ombak, ia jadikan jalan tersebut panggung kehidupan. Ia seperti pendongeng. Siapapun yang mendengarnya, akan jatuh hati. Tapi siapa yang tau apa yang sebenarnya dihatinya?
Dan si kaki lelah. Berkali-kali ia katakan ia ingin mundur. Banyak jalan untuk putar balik, katanya. Tapi tidak ada yang mempedulikannya. Berbagai umpatan ia lontarkan, berbagai kekesalan ia tuang. Bising sekali. Semua berusaha menutup kuping untuk tidak mendengarnya. Tidak peduli. Tapi ia jujur, lalu bagaimana?

Ketiganya beriringan. Ketiganya berdampingan. Memiliki tujuan yang sama. Tapi tidak tau, untuk apa tujuan itu harus dicapai? Demi tontonan? Demi menyenangkan para pemerhati? Mereka tak sepemikiran. 

Mimpi itu hilang dan yang tersisa hanya kewajiban. Menjalani yang telah tertulis, bertapa dibawah penyesalan. Sampai kapan? Mungkin sampai mereka menemui pertigaan yang sesuai untuk mereka sendiri, dan sadar bahwa berpisah adalah kebenaran. 

Ah, hidup. Betapa sulit diartikan tapi begitu munafik untuk tidak dipikirkan. Memaksakan sesuatu seolah itu baik tapi fana. Tipu daya, keangkuhan, kebodohan, dijadikannya kebanggaan. 

Apa yang kamu baca, apa yang kamu dengar, jangan anggap semua seperti kamu, dan jangan anggap semua bukan kamu. Tapi hak kamu untuk mengasumsikan sebagai apa kamu sebenarnya.

Hanya saja, jangan terlalu percaya. Ingat bahwa Maha Besar Allah membolak-balikkan hati manusia..


Rarafatima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar