Minggu, 21 Juli 2013

Daun dan Ranting

Suatu siang di alam semesta dengan hujan yang tidak biasa. Alam liar sedang mengumandangkan musik khas kemarahannya atas ulah manusia. Ya, ini Juli. Seharusnya matahari sedang terang-terangnya. Tapi karena sesuatu yang mereka (manusia) sebut perubahan iklim, inilah yang terjadi. Badai dan hujan dibulan ketujuh. Apa daya? Aku hanya mengikuti kemana angin membawaku. Dan disini aku sekarang, aku berkumpul bersama teman-temanku membentuk uap yang siap mengguyur sekali lagi. Aku memandangi sebuah pohon tua ditengah padang rumput. Pohon itu kokoh, tegak sendiri diantara kekosongan yang ada. Beberapa kali aku melihat ada yang terjatuh, ada yang jatuh bersama dan ada yang sendiri. Beberapa diantaranya ada yang beranjak dari rumah mereka. Sama seperti aku, mereka dibawa ketempat baru oleh angin. Pastilah mereka mengutuk keberadaanku. Lalu kepada siapa aku harus mengutuk? Apa ini sepenuhnya salahku? Akukan hanya mengerjakan apa yang mereka (manusia) mulai. 

"Ah, ada lagi yang terbang!" Kataku. Daun muda terbang ringkih. Tubuhnya lemah tanda tidak terbiasa dengan kekasaran badai. Dia terbang cukup jauh, melewati beberapa tanaman kecil, hingga akhirnya ia perlahan mendekati daratan. Dia tergeletak layu. Namun beruntung, ia terkulai diatas ranting tipis namun berakar kuat. Ranting muda. Warnanya masih hijau muda pekat, tebal, namun tentu masih sangat ringkih. Daun  muda yang tidak memiliki tenaga, tidak mampu berkata sepatah katapun kecuali mendengus kelelahan. Ranting terbangun dari tidurnya ditengah ributnya guyuran air hujan. 

"Hai." Sapa ranting. Aku belum lelah memperhatikan daun muda mungil yang bernasib buruk. Ia harus meninggalkan rumah terbaiknya, si pohon tua, karena semesta. Aku penasaran, apa dia menangis? Atau dia justru tidak tau apa yang terjadi? Daun muda tidak menjawab. Dia hanya mengeluarkan suara parau yang menandakan bahwa ia tidak baik-baik saja. Ranting memasang wajah penasaran dan iba. Tidak ada perasaan jengkel sekalipun badannya dijadikan sandaran lelah oleh daun. Bahkan ia menggerakkan tubuhnya kesana-kemari untuk membenarkan posisi agar si daun mendapat posisi baik untuk bersandar. Sekali lagi, ranting berusaha membuka percakapan. "Eh, halo." Katanya. Kali ini daun membuka katup matanya perlahan, mencari-cari suara yang menyapa ditengah ributnya suara angin dan hujan. Sulit baginya menemukan sumber suara tersebut karena posisinya melihat kearahku. Lalu dengan kegigihan ranting, ia menggerakkan tangan-tangannya untuk memindahkan daun agar bisa menatapnya. Daun pun sedikit terperanjat melihat ranting. Ia merasa membebani ranting dan bergerak berusaha menjatuhkan diri ke tanah.

"Hei, hei, tidak apa-apa. Jangan panik begitu." Kata ranting. "Tapi aku.. Aku seharusnya tidak disini." Kata daun dengan nafas tersengal. Ranting tersenyum, tangan-tangan kecilnya mencoba memeluk daun yang semakin terkulai. "Aku belum punya teman selama ini. Aku senang kamu datang." Daun memejamkan mata dan raut wajah ranting berubah menjadi sedih. "Kenapa? Ada yang salah dari perkataanku?" Tanya ranting. Daun justru menangis, dengan berusaha keras ia berkata. "Aku.. Aku punya banyak teman di rumahku. Tapi dia (melirik kearahku) justru menurukan air begitu banyak, dan dia (melirik ke angin) melepaskan peganganku dari orangtuaku. Aku mau pulang" Dan daun terisak-isak.

Sesaat ranting bingung harus menjawab apa. Ia hanya berusaha memegangi daun agar tidak terbawa angin lagi. Daun masih menangis dan nafasnya tersengal. Beberapa saat kemudian, ranting mencoba bicara lagi pada daun, "Apakah sakit?" Daun membuka mata dan melihat ranting. "Tentu saja. Ini seperti kehilangan anggota tubuhmu. Kamu kehilangan keluargamu dan teman-temanmu, kamu tidak akan tau bagaimana rasanya!"

Kini ranting sedih. Ia menunduk, dan matanya berlinang. "Maaf daun." Dan daun kaget mendengarnya. Ia melihat mata ranting yang berlinang airmata. "Kenapa minta maaf?". Mata ranting melihat ke sekelilingnya. Ranting tua, akar, juga tanah dibawahnya. Mengajak daun tanpa bicara untuk memandang ke sekeliling 'rumah' sampai ranting akhirnya bertanya "Kamu mengerti maksudku?". Daun menggeleng. Keduanya diam, namun ranting meneteskan air mata pertamanya, bersaing dengan tetesan-tetesan hujan.

"Aku satu-satunya ranting kecil disini. Rumahku tidak sebesar rumahmu, tidak sekuat akar-akarmu, tidak seramai lingkunganmu. Aku belum pernah punya teman daun yang bertahan lama. Posisi kami disini menyebabkan daun lebih cepat gugur, beberapa kali aku harus menyaksikan mereka jatuh. Terlalu cepat, hingga aku belum sempat bisa berbicara dengan mereka. Aku tidak pernah punya teman disini dan aku merasa senang kamu datang. Aku kesepian.. Aku benar-benar kesepian..........."

Keduanya kini saling merunduk. Daun menyesal telah berkata tentang kehilangan, karena ranting justru beberapa kali kehilangan. Hujan dan angin masih bersekongkol kejam terhadap mereka. Ranting, meski menangis tetap memeluk daun seerat mungkin agar tidak bernasib sama dengan teman-teman daunnya yang lama meninggalkan dia.

"Aku tau, kamu tidak mungkin selamanya disini. Aku tidak bisa menanam kamu di tangan-tangan kecilku. Tapi setidaknya aku bisa berkenalan dan tau bagaimana rasanya punya teman." Lanjut ranting.

"Dan aku kesakitan. Kamu tau kan kehilangan anggota tubuh, dimana kamu tidak mampu makan atau minum, itu sama saja kamu akan menghadapi kematian. Warna tubuhku perlahan akan menguning. Hijauku pada akhirnya tidak lagi tersisa. Kuningpun akan berangsur cokelat. Lalu.." 

"JANGAN DITERUSKAN!" Potong ranting. "Aku tau, aku tau itu pasti terjadi. Tapi apa salahnya dalam beberapa hari ke depan aku memliki teman bicara? Aku memiliki satu nama yang bisa aku kenang? Aku ceritakan pada teman kedua, ketiga, tentang teman pertamaku?" Lanjutnya.

Daun menatap kedua bola mata ranting. Tersirat rasa kesepian yang mendalam dari mata ranting. Begitu juga ranting, ia melihat jauh kedalam mata daun, dan ia mendapati kerinduan dan ketakutan dimata daun. Keduanya, dibalut rasa negatif. Kesepian dan ketakutan bercampur ditengah hujan deras. Semesta sedang bersekongkol. Realita siang itu seperti neraka. Tapi kedua rasa itu dipertemukan dalam suatu ikatan baru, pertemuan.

Daun dan ranting bertemu dengan membawa duka masing-masing. Mereka kini saling merangkul. Berkenalan. Membawa rasa baru dalam kehidupan mereka. Daun menemukan sosok sahabat sejati yang selama ini tidak ia rasakan. Tidak pernah ia miliki sahabat sebaik ranting. Ia belajar sesuatu yang baru. Bahwa selama ini tempat dimana ia tinggal, memang memberikan rasa aman, banyak teman, namun tidak nyaman. Tapi itu semua karena sudah menjadi 'kebiasaan'. Ranting tempat ia tinggal tidak pernah merangkulnya dengan erat, daun-daun lain sibuk dengan kehidupan masing-masing. Tidak ada yang menjadi sangat dekat. Tapi disini, ditengah rasa sakit yang menimpanya, selalu ada ranting yang menjaganya, menemaninya bicara hingga larut malam. Ia benar-benar merasa dimiliki. Lalu ranting, yang selama ini kesepian, selalu tidak memiliki kesempatan untuk menjaga apa yang ia punya. Ia dipertemukan dengan daun yang rentan, menceritakan kisah kehidupannya, dan tau apa yang harus dilindungi. 

Tapi tentu, keduanya dibebani oleh ketakutan yang sama. Mereka dalam beberapa hari akan berpisah. Daun tidak mungkin hidup lebih lama. Tubuhnya kini menjadi kuning. Ranting pun lebih sering menghibur daun demi mengalihkan ketakutan daun mungil yang kini semakin layu. Hari-hari setelah badai itu merupakan hari yang cukup cerah, sehingga tubuh daun tidak lebih mudah patah karena dijatuhi hujan. 

Hingga suatu siang, aku mendapati diriku melebar. Berkumpul membetuk gumpalan gelap. Angin menyatukan aku dan teman-temanku dalam jumlah yang (sekali lagi) besar diatas padang rumput ini. Aku tau, hari ini akan tiba. Aku akan, mau tidak mau, memisahkan dua sahabat ini. Aku akan mengantarkan daun ke permukaan tanah, tapi aku juga akan mempercepat tumbuhnya daun dibadan ranting kecil itu.

Keduanya mengadahkan kepalanya kearahku, lalu kembali saling menatap. Daun bicara, kali ini benar-benar dengan sisa kekuatan yang ada. "Disini, aku belajar arti baru. Bahwa pertemanan, tidak hanya karena 'memiliki fisik teman' tapi juga menjaga, mendengar, dan memperlambat waktu tiap ada kebersamaan. Dan beberapa hari disini dengan fisik seperti ini, memiliki sahabat seperti kamu, jauh lebih berarti daripada berada di pohon tua, dengan ribuan daun lainnya, namun tidak memiliki ikatan kuat." Ucap daun.

                                    "Satu sahabat jauh lebih berarti daripada ribuan teman"

Ranting menjawab, "Sahabat tidak akan pergi meski fisiknya tidak ada. Aku yakin kamu akan tetap berada disini. Aku akan terus bicara denganmu meski..." Daun kejatuhan titik hujan pertama. Sebagian dari tubuhnya sobek. Ranting menangis dan berusaha menyelesaikan kata-katanya "..meski kamu sudah dalam wujud yang lain."

"dan sahabat tidak akan pergi, perginya seorang sahabat pun akan tetap memberikan sesuatu yang baik. Aku, akan menjadi humus, dan aku akan menggemburkan tanah, sehingga ada daun baru tumbuh dibadanmu, yang mungkin salah satunya nanti, aku yang terlahir kembali :)" Lanjut daun.

Keduanya saling berjanji. Daun meminta tangan ranting dibuka agar daun bisa lepas. Daun telah siap menjatuhkan diri ditanah. Ranting menguatkan diri dan memberanikan secara perlahan melepas genggaman tangannya dari daun. Kini aku siap menjatuhkan air hujan yang lebih besar, tidak ada rasa bersalah, karena akupun, meski tidak mereka ketahui, berjanji untuk mempercepat pertemuan mereka kembali, dalam tubuh yang sama.

@magicalofrara

Minggu, 14 Juli 2013

Tolong Ingatkan Saya

Tolong ingatkan saya, jika saya tidak berhasil jatuh cinta pada anda. 
Terima kasih.

Sabtu, 13 Juli 2013

Ikhlas

Melepaskan adalah hal yang jauh lebih sulit dijalani daripada sekedar.......
Beranjak
-Rara-

Rindu

Bagian tersulit dari mengucap kata rindu adalah menentukan apakah dia yang akan menerima kata rindu itu pantas untuk dirindukan
-Rara-

Rindu

Rindu mengucap kata rindu yang kini tergantikan oleh rasa sendu. 
                                                      -Rara-

Sabtu, 06 Juli 2013

Déjà vu

Déjà vu is a word from French, literally means already seen.  is the phenomenon of having the strong sensation that an event or experience currently being experienced has been experienced in the past, whether it has actually happened or not. 

-Wikipedia-

Well, ada diantara kalian mengalami kejadian serupa? Lewat mimpi ataupun seperti mengalami fase yang sepertinya 'pernah terjadi'. Saya tidak mengerti terlalu dalam bagaimana fenomena ini ada. Melalui tulisan saya, saya menggunakan istilah ini sebagai kiasan atas apa yang saya alami. Mungkin cerita saya akan banyak saya beri kiasan, tidak terlalu pure dan jelas.

Lima tahun lalu. 

Ketika itu datang pada saya, saya masih remaja. Dengan masih kaya hati dan memandang hidup jauh lebih sederhana daripada sekarang, sesuatu datang. Sama sekali tidak mengganggu, hanya konyol saja, tapi tetap menyenangkan. Ada pertemuan kecil disana.

Dalam waktu singkat semua menjadi mengherankan. Jelas, namun membingungkan. Saat itu saya tidak bisa berkata apa-apa selain mendengarkan. Hanya menjadi pendengar sebuah cerita yang menjadikan aku seorang pemain didalamnya. Dengan kesederhanaan pola pikir saya, saya menertawakan cerita itu. Menganggap itu angin, dan tidak terlalu ambil pusing. 

Lalu layaknya angin, kisah itu hilang

Aku terus beranjak. Dengan sisa-sisa usia remaja, aku memasuki fase dimana hidup tidak bisa sesederhana itu lagi. Kekayaan hati pun berangsur menipis. Kejadian baru menghampiri aku. Kali ini beda. Rumit, kujalani. Namun tetap dengan berusaha memandangnya sebagai hal normal, wajar, dan sederhana. Kali ini aku tidak hanya mendengar, melainkan ikut bicara, ikut berandil. Lama. Kejadian tersebut berangsur lama dan mengalami banyak anak kejadian. Semakin lama semakin jelas,  jelas, dan kemudian buram. Tidak lama buram tersbut disapu oleh pencahayaan cukup terang sehingga menjadi jelas seperti semula. Begitu terus seperti air.

Lalu layaknya air, ada waktu dimana air tersebut harus dijernihkan

Didepan mata

Tidak lima tahun lalu. Tidak dahulu. Kini didepan mata. Aku mengalami kejadian yang 80% sama seperti 5 tahun lalu. Kondisi dimana aku menjadi pendengar, dan menjadi andil didalamnya, semua. Aku kembali menemukan 'paket cerita' tersebut tanpa aku menduga dan mengharap. 

"Ini skenario Tuhan" kataku.

Sungguh aku tidak merencanakannya, aku tidak mengharapkan, juga tidak menghindarinya. Karena apa yang bisa kita hindari jika itu memang kehendak Allah Yang Maha Kuasa? 
Apakah ini fase? Jika ya, apakah harus dengan hal-hal yang sama persis dulu dan sekarang? Jika tidak, seharusnya setelah ini akan ada siklus lain. Bukan Déjà vu seperti sekarang ini. 

Namun, apalah artinya pertanyaanku?

Toh masa depan, satu jam lagi sekalipun, bukan hak ku untuk mengatur. Bukankah memang satu-satunya hal yang pasti di dunia ini hanyalah sebuah ketidak pastian? Dan memang sudah sepantasnya kita duduk manis menunggu pertunjukkan satu persatu penjelasan dari ketidak pastian itu, kan? 

Allah Maha Tau, kita tidak mengetahui apa-apa.

Al-Baqarah, 216

boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” 


(Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 216)