Minggu, 18 Desember 2016

Belajar dari gadis Suriah dan catatan Cak Nun

Aku ada satu teman asal Suriah, Layal namanya. Dia adik kelas aku di kampus waktu aku masih sekolah di Jerman. Terus terang aku ga pernah ngobrol bareng sama dia sebelumnya, kecuali saat main game bersama anak-anak lain.

Tapi saat perjalanan pulang Spiekeroog - Hannover, kami duduk berdampingan dan memaksa kami untuk mengobrol lama. 

Pertama yang membuka obrolan kami adalah (dan selalu) tentang apa yang mendorong aku pake jilbab. Kondisinya ia tidak memakai. Aku tidak mau menodongkan pertanyaan apakah dia itu Sunni atau Syiah. Namun setelah dia banyak menjelaskan tentang keluarganya, aku sedikit-banyaknya dapat menyimpulkan ia bukan Syiah.. Karena ia mengakui nabi Muhammad, dan banyak saudaranya juga mengimani As Sunnah. Meskipun, (ini patut digaris-bawahi) ia dengan yakin mengatakan, "Saya berbahasa Arab, saya tidak menemukan ayat yang menyatakan bahwa hijab adalah kewajiban. Itu hanya anjuran.."

Namun kemudian aku diskusikan dengan papa, dan ibu dari sahabatku, Winda. Mereka berdua (papa aku dan mamanya Winda) adalah dua orang yang sangat arif. Pendapat mereka kurang lebih sama, yaitu "Alqur'an itu menggunakan bahasa Arab dengan tingkat kesulitan yang paling tinggi dan paling indah. Seperti puisi. Bagaimana orang menafsirkannya bisa berbeda satu sama lain. Bahkan ahli agama pun belum tentu memahami betul isi Alqur'an 100%. Itulah yang disebut iman. Dan kita tidak bisa memaksakan iman seseorang."

Kembali lagi ke percakapan aku dengan teman Suriah ku. Ia bercerita juga tentang indahnya kota Palmeria sebelum kota itu dihancurkan oleh tentara ISIS. Ia bercerita dengan wajah berseri-seri menjelaskan "Ya, kami memiliki banyak sekali kepercayaan di Suiriah, dan kami hidup damai. Kami semua pada dasarnya sama, namun beberapa orang percaya bahwa Alkohol tidak haram, dan ada yang percaya sebaliknya. Banyak sekali, kalau mau kusebutkan, mungkin bisa lebih dari 100 kepercayaan. Bahkan dengan umat Christian, tentu, kami juga punya umat Christian, tidak hanya Muslim, kami juga saling membantu. Kami ikut menyemarakkan dan sebaliknya. Namun semua itu berubah..."

Dan seperti yang kalian bisa tebak, 'semua itu berubah ketika perang terjadi'... Yang sejak 5 tahun silam juga terjadi di Aleppo. Karena ada sekelompok orang yang merasa paling benar dan yang lain salah. Mereka mengaku yang sempurna, dan yang lain tidak pantas hidup, atau tidak pantas hidup dengan damai sebelum mereka merubah kepercayaannya.. 

Pada saat itu, terus terang aku tidak tau tentang berita di Indonesia. Namun sekarang, rasanya..........
Apakah kita ini sedang diarahkan supaya mengalami apa yang Suriah alami? naudzubillah min dzalik... Sekelompok orang mengatasnamakan suatu agama, namun tidak mencerminkan apa yang mereka (claim) telah pelajari, untuk justru mengotori agama mereka sendiri, membuat orang yang memiliki kepercayaan lain alih-alih jatuh hati, justru semakin menjauh.. Begitukah mau kita?

Aku teringat tulisan Cak Nun, salah satu pendakwah yang selalu menjaga pikiran saya tetap waras, pendakwah yang mengaku dirinya muslim saja tidak berani, karena itu hak prerogatif Allah SWT. Beliau mengingatkan kepada umat Islam di Indonesia bahwa yang menghadirkan perbadaan ini adalah Allah SWT. Dan perbedaan itu seharusnya menjadikan kehidupan indah, bukan kehidupan malapetaka. Mau bagaimanapun, ia pasti merasa agamanya benar, dan aku merasa agamaku benar, dan kamu berpikir agamamu benar. Dan itu tidak bisa kita paksakan. Dan dengan tidak mengintervensi mereka bukan berarti pluralisme.. 

Ya itulah, dari obrolan saya dengan Layal saya belajar. Dari banyak hal yang saya alami, dengar, rasakan, selama perkenalan saya dengan banyak pikiran dari dunia yang luas ini, saya belajar. Bahwa "Sebelum belajar menjadi muslim, belajarlah dulu jadi manusia." - Aditya.

Lebih kurangnya, aku minta maaf kalau ada perkataan yang membuat pembaca tersinggung. Bisa jadi aku salah. Ini hanya berbagi pengalaman, hasil obrolan dengan sesama manusia, dan tentunya ini bukan dakwah :)

Catatan cak-nun: https://caknun.com/2013/ketika-kita-berselisih-faham/