Rabu, 30 Maret 2016

Kereta Kosong

Seperti mengejar cerita baru, aku kembali mengejar kereta.
Oh ya, paskah hari itu. 
Jalanan sepi, begitu pula seisi kereta.
Kereta yang bisa diisi 100 orang tiap gerbong itu, hari ini terisi hanya 8 orang.
Ku kira ini termasuk sepi
Tapi ku teliti ulang
Ternyata ramai sekali.

Di udara, aku lihat berbagai cerita saling bertumbuk satu sama lain,
saling sikut mendapat area cukup untuk menguasai.
Tak satupun suara, namun banyak sekali cerita.

Di pojok kursi dekat pintu, duduk seorang bapak-bapak,
usia 37 tahun katakan saja.
Memandang keluar jendela yang sebenarnya tidak ada yang dilihat.
Ini dibawah tanah.
Ah, dia memutar kembali percakapan dengan kawannya semalam di irish bar.
Temannya malam itu mabuk, dan memaksanya ikut mabuk.
Lalu lengkungan senyum tanpa sadar dia buat di sudut bibir kanannya.

Arah jam 12 ku, seorang ayah berusia 43 tahun.
Tidak jelas apa yang ia perhatikan. 
Matanya kosong, tak berkedip sepersekian menit.
Lalu ku baca ceritanya.
Penyesalan.
Pagi itu ia memarahi jagoan kecilnya yang berusia 8 tahun.
Dan wanita yang sepertinya 3 tahun lebih muda terlihat kecewa padanya.
"Ini paskah!", katanya.
Lalu ia berkedip, dan memindahkan kedua bola matanya ke arah lain.
Tangannya mengusap keningnya.

Di belakang dua gelombang cerita yang berpautan itu, 
berdiri remaja pria usia 19 tahun yang sibuk menukar tombol demi tombol di ponselnya.
Kadang ia tersenyum geli.
Lalu ekspresinya hilang seiring dengan jemarinya yang bergerak.
Lalu tertawa senang melihat ke layar.
Dan ku lihat perempuan berambut karat di kuncir kuda.
Duduk di meja makan bersama keluarganya, tapi tangannya tak kalah sibuk dengan si remaja 20 tahun ini.
Flirting.

Stasiun pertama dilewati. 
Kali ini seorang nenek-nenek usia 68.
Membawa sekantung roti, dan tongkat.
Selangkah demi selangkah ia pijak untuk mencapai tempat duduk terdekat.
Kepulan asap mulai muncul di atas kepalanya dan membingkai cerita.
Anak-anak dan cucu-cucunya akan mengunjunginya siang ini.
Runtutuan skenario yang ia buat untuk hari ini.
Memanggang cup cake, menyiapkan cokelat, menata meja,
lalu.....
membersihkan jas demi jas yang berdebu milik suaminya yang telah lebih dulu meninggalkannya 3 tahun silam.
Dan cerita berganti.
Paskah 2012, di Heidelberg.
Di rumah anak tertuanya.
Ia merangkul lengan sang suami, berjalan beriringan bercerita.
Lalu cerita itu hilang.
Kembali ia membayangkan kedatangan cucu-cucunya yang suaranya bergemuruh mengisi ruangan.

Cerita-cerita lain juga mencari perhatian untuk mengikatku.
Lima cerita lain memenuhi tak kalah liar.
Kereta ini penuh sesak.
Tapi tak ada satupun yang bersuara.

Stasiun kedua dilewati.

Seorang bocah perempuan usia 6 tahun bersama ibunya masuk.
Suaranya mengisi kereta tanpa suara ini.
"Jadi seharusnya kita bisa sampai di rumah 10 menit lagi kan ma? Bobbi perlu makan!"
Katanya pada sang ibu, yang berusaha menjelaskan bahwa sang ayah pasti sudah memberi Bobbi (anjing peliharaannya) makan.
sedetik suaranya mengisi ruangan, kepulan asap cerita yang mengisi gerbong kereta tadi hilang.
Mata yang tak berkedip, kini berkedip normal.
Mata yang memandang ke kegelapan, kini mencari sosok sumber suara nyaring itu.
Mata yang terjebak pada monitor, kini lebih leluasa.
Dan mata yang mengais kenangan indah 4 tahun silam, kini lebih bersinar menanti kehadiran malaikat-malaikat kecil.

Dan aku pun turun dari kereta.


Minggu, 20 Maret 2016

Mari Bertukar Budaya

Saya masih inget banget perasaan yang saya rasain hari itu. Amsterdam, jam 10 pagi.

Ngantuk, capek, takut, gelisah, tapi juga bahagia bukan kepalang. Pertama kali nginjek Eropa, sendirian. Bener-bener sendirian. Ngeliat ke jendela, 

"Kamu beneran disini, Ra?"

Saya pikir perasaan excited semacam itu akan sirna setelah beberapa bulan. Ternyata tidak. 

Satu perjalanan saya dari Hannover ke Berlin dengan bis awal maret lalu, saya berdua dengan teman Vietnam saya. Setelah 30 menit pertama kami mengobrol dari masalah cuaca, ujian, liburan, sampai thesis, kami seperti mengerti satu sama lain: kami ingin punya waktu sendiri sekarang.

Lalu saya mulai menikmati perjalanan, likewise, iPod terpasang, mata menerawang keluar jendela. Deretan windmill (kincir angin, wind energy), area yang tergolong flat dan hijau, mobil dengan kecepatan penuh, cuaca mendung tipikal Jerman Utara musim dingin - semi, dan sesekali rumah-rumah kecil tapi indah seperti di dongeng-dongeng. Dan perasaan itu muncul lagi:

"Kamu beneran di Jerman, Ra?"

Setelah 1 tahun 5 bulan di Jerman.. Saya masih suka ga percaya kalau saya di Jerman. Mungkin bagi yang membaca ini terkesan berlebihan, atau saya dianggap tidak nasionalis. Tidak apa-apa, itu hak pembaca. Tapi, ini mimpi saya dari jaman saya belum kenal IPA dan IPS. Jadi saya pikir, perasaan saya ini lumrah.

Lalu apa yang saya dapat disini?

Banyak hal. Dari esensi hidup, baru tau betapa indahnya bahasa Indonesia, sampai budaya yang lebih mendukung, bukan mengekang. Hal yang menurut saya hampir 360 derajat berbeda dengan di tanah air saya. Meskipun tidak semua pengalaman tersebut datang dari orang Jerman. 

1. Kartupos

Sebelum saya tinggal di Eropa, sebenarnya saya sudah mulai mengoleksi kartupos. Saya ikutan postcrossing project waktu masih bersekolah di ITS, Surabaya. Koleksi saya masih sedikit sih pada waktu ity, baru sekitar 40an kartu, Kenapa saya suka kartupos? karena saya jatuh cinta sama dunia. Sesimpel itu. Pada waktu itu saya belum bisa kemana-mana, jadi saya pikir, kalau kaki saya belum mampu, biarlah mata saya yang membaca dan melihat cerita-cerita dari orang di seluruh dunia. Alhasil, dulu saya punya teman 'penpal' sampe kirim2an kado dari perkenalan lewat kartupos :)

Nah, setelah saya tinggal di Jerman, kartupos yang saya dapet dari mana aja saya tulis, dan saya kirim (kalau sempat) ke diri saya sendiri. Ada yang komen katanya itu ga waras. Well, you have no idea how happy I could be, when a year after travelling I looked back into my postcard and re-read a story behind it. 

Orang-orang Indonesia terbiasa melihat teknologi yang serba canggih dari gadget, dan menganggap hal yang udah ga ngetren sebagai hal aneh, justru melupakan apa itu esensi komunikasi. Padahal disini, kartupos seperti sepanjang masa. Dan para bule ini mengingatkan dan membawa saya kembali ke hal klasik yang ga akan kemakan usia.

2. Album Foto

Sebastian namanya,seorang Austrian. Dia pacar dari teman saya, orang Indonesia. Saya kenal mereka di salah satu perjalanan saya ke Islandia. Saya memang mulai suka fotografi, dan teman saya bilang saya sedikit perfeksionis kalo mengambil foto. Gak pernah suka ngeliat foto miring. Tapi sebatas itu. Foto tersebut hanya berakhir di dalam album laptop.

Lalu Sebastian cerita, kalau dia lebih suka mencetak foto-foto perjalanan ke bentuk physical. That hits me! Bukankah itu yang selalu orang-orang jaman dulu lakukan? Dan inget ga betapa bahagianya kita kalo liat foto album kita jaman bayi, umur 10 tahun, ada dalam bentuk cetak album? 

Kenapa saya ga pernah punya album foto lagi? Bukankah itu esensinya sebuah foto? membekukan memori, mencetaknya kembali, untuk diliat di kemudian hari? What have I missed these years?????

3. 'Sitting time'

Gatau nama yang cocok apa untuk kegiatan ini. Setelah perjalanan terakhir saya ke Yunani pekan lalu, dua teman saya (pasangan Hungaria) minta ijin untuk mengcopy foto dari kamera saya. Dan kebetulan saya diundang ke rumahnya sekalian main. 

What happened next was above my expectation. 

Saya pikir, mereka hanya akan mengcopy foto aja, dan selesai. Ternyata engga. Mereka menyiapkan teh, biskuit, lalu kami bertiga duduk di depan laptop untuk memutar ulang foto-foto tersebut. Ada kalanya mereka men-zoom in foto-foto tersebut hanya untuk melihat detail ekspresi kami. I have never done that before. I mean, sitting on purpose for only watching our picts and commenting them? That's awesomely a good idea and fun! 

Ternyata dengan 'nonton' foto, kami bisa 'kembali' ke Yunani beserta atmosfir hangatnya. Meskipun setelahnya harus dihadapi kenyataan kami di Hannover dengan suhu 3 derajat di musim semi...

4. Affection

This!! This is the most important part. Okay, everyone knows bagaimana bule bisa ber-romantis ria ga peduli dimanapun tempatnya. Sebelumnya, biarlah saya tanya ke kalian:

Kalo ada pasangan suami istri muda Indonesia, di jalan, peluk-peluk, cium kening, apa yang kalian bilang dalam hati?
a) kurang kerjaan
b) norak,kayak besok ga bakal ketemu lagi aja
c) aww, so sweet

Disini, ga kehitung saya ngeliat pasangan yang ga malu menunjukkan kasih sayang ke pasangan. Terutama pasangan geblek hungaria ini. 

a> Bayangin, si cowo baru kelar dari toilet di bandara, cuma abis cuci muka aja, lalu si cewek langsung ngebelai si cowok, meluk, senyum kasih sayang.
b> Si cewe kelamaan liat-liat dan saya beserta yang lainnya udah nungguin dia, dan si cowo ngehampirin si cewe dengan lemah lembut, elus punggung, elus kepala untuk ngajak si cewe "udah ya liat2nya, kita mau lanjut jalan"
c> Kepisah di museum barang 30 menit aja, begitu ketemu langsung saling sapa "halooo..." sambil senyum, elus kasih sayang.

Saya sebagai orang Asia dan orang Indonesia pada tepatnya, gatel untuk komen. 

Saya bilang sambil logat becanda, "Di Indonesia, pemandangan kayak yang kamu lakukan itu langka. Yang ada, kami bakalan komen, 'yaampun kalian norak banget sih, mesra-mesraan mulu di depan umum, kayak besok ga bakal ketemu aja'..."

Lalu mereka menjawab sambil bercanda, "Loh, kalau memang ternyata besok ga bisa ketemu lagi gimana? Mungkin mereka yang komen begitu ga sadar betapa pentingnya pasangan mereka.. Kenapa harus malu-malu nunjukkin kasih sayang di depan umum kalo itu bisa meningkatkan kebahagiaan satu sama lain?"

Again, that hits me. FYI, they have been together for more than 8 years.

Saya ga bisa untuk ga senyum setiap kali papasan sama kakek nenek yang gandengan tangan di jalan, saling ngerangkul. Ikut bahagia liat tante saya dulu (orang jerman) yang memohon suaminya untuk ga deket-deket jurang untuk ambil foto padahal juga jurangnya masih relatif jauh. Saya pikir kenapa, dan si tante bilang, "Saya ga bisa ngeliat dia di tempat yang mengancam. Pokoknya ga bisa"

Lalu saya ngobrol ke pasangan saya di Indo, kenapa di Indonesia pemandangan begitu malah langka. Bukan suami istri yang mesra, tapi justru pasangan baru awal pacaran. Lalu dia jawab, "Ya karena di Indonesia orang-orangnya masih beranggapan wanita ga boleh dengan pria. Wanita itu harus mengabdi untuk pria. Jadi pria suka jaim untuk nunjukkin affection."

I am sorry, but...... ew.

5) Lakukan apa yang bisa menguntungkanmu

Di perkuliahan Indonesia, saya yakin sebagain besar dosen masih menganggap dirinya penting di hadapan murid. Misal, kamu dari awal ikut kuliah dengan topik A. Dosenmu di bidang A udah sangat yakin kamu akan mendalami topik A dan ngebantuin dosenmu pada akhirnya. Mendadak, kamu justru pilih topik B. 

Ada 2 kemungkinan yang mungkin:
a) Kamu takut sama si dosen,
b) Dosen menganggap kamu penghkianat.

Saya disini kuliah dengan major sanitary, Saya kerja selama setahun di institut untuk bidang sanitary. Saya bantuin professor saya untuk penelitiannya. Sejak 6 bulan terakhis sebelumnya pun, professor saya udah nanyain topik thesis saya. Pada akhirnya, saya justru sama sekali tidak ambil thesis di bidang sanitary.

Saya takut banget! Saya merasa ini sebuah betrayal :)), meskipun sebenarnya bukan. Maklum, saya masih berdarah jawani, yang suka gaenakkan akhirnya emang gaenak sendiri ngerepotin.

Lalu suatu hari beliau nanyain saya lagi tentang thesis saya. Saya jawab kalau saya ambil thesis di institut lain, karena ada kerjasama dengan Indonesia. Lalu saya minta maaf berkali-kali. 

Ternyata respon beliau jauh diluar dugaan.

"Rara, justru yang kamu lakukan itu benar. Buka pintu selebar-lebarnya yang bisa membantu kamu di masa depan. Kamu sama sekali ga berkhianat, justru itu yang paling tepat. Saya tau background kamu apa, dan thesis kamu ini pasti sebenarnya lebih sulit untuk kamu daripada kamu ambil sanitary, jadi kamu harus lebih kerja keras ya. Jangan khawatir, pasti kamu mampu."

6. Last but no least, Bahasa Indonesia

Saya adalah satu-satunya mahasiswa Indonesia di kelas. Dan orang Indonesia di Hannover tidak seberapa berserakkan seperti di Berlin dan Hamburg. Jadi kawan saya hampir tidak pernah dengar saya bicara dengan bahasa Indonesia. 

Sejak Oktober lalu, saya dapat 4 junior Indonesia. Lalu ulangtahun saya pekan lalu saya sempatkan mengundang teman-teman sekelas yang tersisa di hannover dan beberapa junior. Ini kali pertama teman sekelas saya mendengar saya banyak bicara dengan Bahasa Indonesia.

Saya ga nyangka, ternyata seruangan senyum setelah dengar saya dan teman saya bicara. 

1: "is that your language?"

2: "that sounds really beautiful"

3: "yes, they are like birds singing."

Saya terkejut sekali! Selama ini saya selalu bertanya-tanya tentang pendapat orang terhadap bahasa Indonesia. Apakah sama seperti saya yang ga suka dengan bahasa mandarin dan vietnam? Apakah bahasa kami se-mengganggu bahasa itu?

Dan ternyata hampir semua orang menyukai bahasa Indonesia. Komentar mereka selalu sama, "Bahasa Indonesia is really interesting. Sounds pretty, like a bird singing.."

Setelah saya masak untuk mereka, dan mereka suka sekali dengan masakan Indonesia yang saya buat, teman saya juga beberapa kali komentar, "Rara, saya ga pernah dengar tentang Indonesian cuisine dari kamu. Boleh nanya-nanya resep?"

Apa yang ga pernah saya lakukan disini? Membicarakan tentang Indonesia di depan umum padahal tidak ditanya. Saya hanya bicara tentang Indonesia ketika memang saya harus presentasi tentang Indonesia, dan kalau ada yang tanya. Karena live abroad bukan untuk mendikte orang tentang budaya kita, kan? Tapi justru belajar budaya lain supaya kita kaya pengetahuan, kan?

Kalau saya memuji negara saya sendiri, Indonesia itu indah, Indonesia itu luar biasa, rasanya akan terdengar narsis dan ga valid. Sesuatu akan dinyatakan cantik, jika memang sudah diakui oleh oranglain, bukan dari diri sendiri ;)

----------------------------------------------------------------------------

Dan masih banyak hal lainnya yang saya pelajari dan membuat saya ga ingin menyudahi satu garis periode saya ini. Banyak hal yang dimata orang Indonesia klise, gak sopan, padahal sebetulnya itu semua klasik, mengembalikan esensi, bukan sekedar bergerak tapi tidak tau apa maknanya, dan banyak hal-hal yang bisa meningkatkan rasa respect kita, meningkatkan humanity kita, saling menghargai satu sama lain. 

Indahnyaaaaaaa :")

"Saya masih disini kan?"

And don't be shy to show your affection to your beloved ones!














Hannover, 19 Maret 2016