Senin, 22 Juni 2015

Janji Tuhan untukmu, Ayah

"jangan menangis, Ayah..."

Aku tidak mengharapkan mereka membaca. Aku pun tidak mengharapkan mereka memahami sedikitpun. 
Ini hanya satu firasat dari seorang anak terhadap rasa yang diturunkan Tuhan kepada sang ayah.

Sudah seminggu roda waktu memisahkan aku dari pelukan teraman di dunia, yaitu ayahku.
Ya.
Dia masih ada. Untungnya.
Tapi jauh dari gapaian lenganku.

Aku besar dengan sebutan 'anak mama'. Ketika kakakku yang lain disebut 'anak papa', aku justru sempat tidak mengenal ayahku sendiri.
Lucu jika diingat.
Ketika usiaku satu tahun, suatu pagi aku terbangun mendapati pria dewasa tepat didepan mataku dan aku  seketika menjerit ketakutan.
Padahal dia adalah ayahku.
Saat itu beliau baru kembali dari Jerman, dan aku masih belum bisa mengerti keadaan.
Ibuku mencoba menenangkanku dan menjelaskan "gak apa-apa, itu papa..." tapi justru aku makin menangis.
Lalu aku tumbuh semakin dewasa tetap menjadi 'anak mama'.

Namun keadaan berubah seiring dengan laju proses pendewasaanku.
Aku yang (saat itu) tidak ikhlas harus bersekolah jauh dari kota kelahiranku, justru membawaku lebih dekat dengan ayahku. Setidaknya itu yang aku rasakan.
Semakin dalam, dan dalam. 

Klise jika ku mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Tapi itu nyata.

Hingga kini usiaku menginjak 25, seperempat abad. 

Ada perasaan aneh.

Ketika kami harus terpisah seminggu yang lalu (14.06.15), ketika ia pamit "Udah ya, Rara pulang aja sekarang.." sambil mengelus punggungku, aku sungguh tidak bisa berkata apa-apa.
Aku hanya bisa balik memeluknya seerat apa yang aku bisa, dan menangis. 

"Sehat-sehat ya..." bisiknya.
Aku tidak bisa bicara. Tenggorokanku tersumbat isakkanku.

"Baik-baik disini.. Terus bahagia ya Ra. Kalo Rara selalu bahagia, papa dan mama ikut senang."
Ingin rasanya aku balik berbisik, "Papa, Rara butuh papa... Papa jangan pergi..."
Tapi nihil.
Hanya tangannya yang mendekap dan mengelus punggung, membelai rambutku, membiarkanku menangis seperti tak ada ujungnya.

Dibalik sedihnya, aku merasa aman disana.

Perasaan aneh itu terus aku rasakan setelah aku melepas kepergian orangtuaku pulang ke tanah air dan aku kembali sendiri.

"Kenapa sesedih ini pisah sama papa kali ini?" tanyaku sendiri..

Malam pertama, kedua, ketiga, hingga hari ini.. Aku masih menangis.
Ada rasa yang mengganjal seolah tidak bisa disingkirkan. Tidak rela rasanya melepasnya pulang saat itu.

Semua itu terjawab tengah malam ini. Cerita yang begitu memilukan untuk diketahui siapapun.

Seseorang menyakiti hati putrinya beberapa bulan silam hingga membuat ayahku menangis. Untuk pertama kalinya aku mendengar kakakku berkata.

"Papa nangis, Ra..."

Hati ini sakiiiiit sekali. Tidak rela. Sakit hati. Marah. 
Seberapapun usahaku untuk menjadi orang yang berbahagia, kenapa dunia ini selalu menyajikan kekejaman yang bahkan aku tidak mengira akan terjadi di keluarga ku sendiri?

"Papa nangis..."

"Papa nangis..."

Orang paling sabar yang pernah kukenal, menangis. Sungguh tidak rela rasanya mengetahui apa yang terjadi.

Tengah malam ini semua rahasia terbuka, membuatku paham... Apa yang menyebabkan aku begitu sulit untuk melepas pelukan ayahku hari itu. Mengapa aku sampai bicara pada diriku bahwa "aku butuh papa...". 
Ternyata dunia ini masih begitu kejam. Entah masih kejam, atau justru jauh lebih kejam dari yang kubayangkan dulu. Membuatku masih tidak yakin bahwa aku akan mampu memberikan kepercayaanku pada pria lain selain ayahku sendiri. Membuatku ragu bahwa akan ada tempat lain yang bisa lebih aman dari sisi ayahku. 

"Jangan nangis, papa... Rara janji, Rara akan bahagia demi papa, seperti yang papa mohon kemarin.... Rara akan terus jadi diri Rara sendiri seperti yang papa minta hari itu. Allah akan memberikan janji indah untuk papa. Semua yang kenal papa tau betapa indahnya pribadi papa... Jangan nangis...."