Jumat, 17 Juli 2015

Apakah Islam itu benar?

Kenekatan saya tinggal di Jerman bukan tanpa alasan, bukan tanpa ketakutan, tidak bebas cemoohan, tidak juga lepas dari kecurigaan oranglain. Tapi toh itu udah kodratnya manusia.
Kali ini saya mau sedikit banyaknya cerita tentang pengalaman keagamaan saya selama hampir setahun tinggal di tanah Eropa. 

Jerman, seperti yang sudah banyak teman-teman saya tau, adalah negeri impian saya untuk bersekolah sejak SD. Mimpi saya dulu waktu SD 

"Sekolah ke Jerman terus jalan-jalan ke UK!"

Saya tumbuh dengan kebiasaan dari keluarga, "gak perlu jadi yang terbaik, yang penting baik.." dalam segala hal, termasuk nilai rapor. Ya, ayah saya tidak pernah menuntut kami untuk mendapat ranking, tidak pernah memaksa kami untuk juara. Semua, kata ayah saya, yang penting kita berusaha, dan ketika gagal, jangan menyerah. 

Bahkan dulu saya pernah mendapat nilai E, ketika orang-orang Indonesia pada umumnya akan mencemooh dan menyindir, ayah saya justru sebaliknya, "Papanya dosen fisika, eh anaknya E. Lain kali jelek-jeleknya D aja ya ra. hehehe". Cuman gitu. Dan alhamdulillah, setelah ngulang pun nilai saya gak D. Saya gak punya nilai D di ijazah :)

Waktu kerja pun demikian. Ketika teman-tean saya sudah mematok harga harus kerja di 'perusahaan' dengan nama yang besar, ayah saya justru mengajarkan saya untuk melihat dengan cara lain. "Yang penting bisa gak Rara berkembang", kira-kira begitu. Akhirnya meskipun tidak sebesar gaji mereka yang udah kerja dibawah naungan nama besar, saya bisa memiliki pengalaman yang jauh lebih berharga melalui salah satu organisasi luar negeri. Saya 'digiring' melihat secara langsung perjuangan orang-orang desa di pelosok negeri, yang bahasa Indonesianya saja masih jelek. Saya diajak melakukan sesuatu yang nyata untuk lingkungan, bukan sesuatu yang justru meninggalkan lingkungan menjadi lebih tidak layak tinggal. Pengalaman berharga yang gak mungkin saya dapatkan kalau saya waktu itu menerima tawaran kerja di salah satu perusahaan produk ternama. Lagi, lagi, berkat ajaran ayah saya.

Waktu saya mengalami fluktuasi emosi karena mengejar bersekolah di Jerman, tantangannya juga gak terhitung. Dari yang capek menghadapi "kapan berangkat?", "Udah dapet sekolah?", "Kenapa ga kerja aja sih?", sampai "Ngapain ke Jerman?"

"Ngapain ke Jerman?"

Karena saya INGIN. Ada aja sindiran dimana-mana. 

Ya, saya memilih Jerman, karena mendengar bahwa teknologi Jerman tak tertandingi. Saya banyak mendengar dari orangtua saya bahwa "Jerman bukan negara islam, tapi penduduknya sangat islami..", juga, "Jerman itu negeri dongeng".

Saya mau membuktikan itu semua. Saya mau mengenyangkan rasa penasaran saya. 

Lalu kini saya di Jerman.

Tidak semua yang saya dengar adalah benar.

Mereka memang bersikap manusiawi, tidak seperti kehidupan di Indonesia. Mereka benar-benar menatur hidup manusia agar seimbang. Bukan hidup untuk kerja, tapi kerja untuk menikmati hidup. Tidak ada mulut-mulut iseng dari pria yang melihat perempuan seksi separo telanjang di jalan. Mereka menghargai perempuan atas pilihannya, bukan justru menuntut dan menyalahkan perempuan. Ini yang diajarkan nabi Muhammad, tapi tidak diikuti umat nabi Muhammad di Indonesia :)

Terlepas dari itu, saya tidak pernah menunjukkan ke-Islam-an saya. Maksud saya, bukan saya tidak bangga atau takut, tapi kembali lagi, saya ingin mereka melihat saya dari sisi manusianya, bukan agamanya. Kalau dari sisi manusianya saja saya sudah salah, pasti agama saya akan terbawa jelek, kan? Saya tidak mau seperti itu.

Karena keputusan saya ini, satu persatu pelajaran saya alami.

Saya pernah mengambil kelas bahasa Jerman, dan satu teman saya pria, berasal dari Denmark. Ketika kami diharuskan berdikusi tentang migrasi, saya sempat kaget karena dia mendadak melempar pertanyaan, "Und Islam? Religion fuer mich ist nicht wichtig" Menurutnya agama itu gak penting, ya, ini bukan sekali dua kali saya mendengar itu, dan saya mencoba menghargai apapun keputusan oranglain. Tapi kemudian, pertanyaan menjadi lebih ekstrik. "Menurutmu gimana? Saya gak suka sama muslim. Kristen, Katolik, gak masalah. Tapi Islam? Mereka berbeda, mereka aktif. Kalo mereka terus menerus seperti itu, kebudayaan yang ada di Jerman bisa hilang..."

Saat itu barulah saya bilang, "Apa saya pernah mengganggu anda?"

Dia jawab, "Maksudnya? Kenapa tanya itu?"

"Saya muslim. Dan saya tidak pernah protes ketika teman-teman saya disini untuk tidak percaya agama. Apakah saya sebagai muslim mengancam?"

Itu kedua kalinya saya merasakan posisi minoritas bukanlah hal yang menyenangkan.

Pertama kali adalah ketika ada demo besar-besaran menentang kehadiran muslim di Jerman yang persentasinya berkembang pesat (MENURUT MEREKA). 

Sekali lagi, saya tidak pernah menunjukkan bahwa saya muslim. Saya tidak pernah menggurui siapapun, saya bahkan belum berjilbab, bagaimana bisa saya menjadi contoh Muslim yang baik?

Saya hanya menjelaskan apa yang orang tanyakan pada saya. Hanya teman sekelas saya yang tau bahwa saya muslim, itupun karena mereka yang bertanya. Pernah juga suatu kali saya pergi ke suatu kedai bersama duo latin (cewek-cowok). Mereka minum wine segelas. Lalu satu persatu pertanyaan keluar dari mulut mereka, dan semua tentang aku.

Tentang Islam.

Bagaimana Islam, kenapa Islam melarang ini, itu, mengapa ada yang memakai hijab dan ada yang tidak. Sekalipun tidak pernah saya bicara jika tidak ada yang menanyakan atau tidak ada sikap yang menjatuhkan Islam. Bagaimana seorang wanita muslim memutuskan untuk menikah, apakah semua berdasarkan keputusan orangtua, apakah wanita berhak menolak pria yang ingin menikahinya, daaaan sebagainya.

Saya sampai shock mengetahui pertama kali bagaiamana pandangan masyarakat dunia memandang muslim terutama kaum wanitanya. Segitu terkekangnya kah wanita muslim dimata mereka? hehe.

Tapi itu yang mengharukannya, dengan segala apa yang mereka pikir tentang keagamaan, mereka respect terhadap saya. Sangat menghormati saya. Kerap saya berpikir, jika masyarakat Jerman sebagian ada yang membenci adanya muslim karena merasa terancam, lalu apa bedanya dengan masyarakat Indonesia yang ketakutan dengan berdiriya rumah ibadah rumah ibadah baru yang non-masjid? 

Pertanyaannya, kenapa?

Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, bukan? Bahkan yahudi. Apa benar, jika semua agama ini ditunggangi kepentingan untuk menguasai dunia? Apa benar semua agama adalah ciptaan manusia? 

Iman saya diuji benar-benar disini. Kadang saya merasa curiga terhadap agama saya sendiri. Kadang saya terbawa dengan omongan-omongan teman saya yang tidak percaya agama. Tapi kemudian saya mendapat jawaban sendiri.

Jika memang Islam buatan manusia, kenapa bisa semua larangannya berlandaskan alasan logis? Kenapa bisa semua perintahnya memiliki tujuan yang baik? Jika memang buatan manusia, berapa IQ manusia yang menciptakan agama Islam? Sebegitu detail, rinci dan sempurna seperti tanpa cacat? Apa mungkin?

Saya juga mengenalkan ke salah seorang teman saya tentang film 99 Cahaya di Langit Eropa. Bagaimana film tersebut menceritakan perjuangan muslim Indonesia bersekolah di Austria. Dengan segala cemooh dari teman-temannya karena harus meninggalkan ujian demi sholat jumat, dan sebagainya. Saya takjub melihat kenyataan bahwa teman saya antusias pada film itu dan mau nonton. Saya menjajikannya film tersebut setelah ujian selesai.

Katanya, "I should watch it! So all my questions about your religion will be answered"

Juga teman saya yang lain pernah bilang, betapa beruntungnya saya jadi muslim, karena dia melihat bahwa Islam benar-benar menjaga kaum wanita. Menjaga pasangan dari pengkhianatan karena dilarang berubungan sex diluar nikah. Lalu ia bilang betapa beruntungnya jadi wanita muslim karena operasi plastik dilarang, jadi tidak ada perempuan-perempuan dengan fisik kurang sempurna yang depresi karena tidak bisa operasi plastik. Karena Islam benar-benar mengajarkan kemurnian diri bukan dari fisik.

Rasanya gatel mulut ini pengen bilang, "Then convert yourself to Islam". Tapi saya tidak akan bicara begitu. 

Jika memang seseorang yakin dengan Islam, ia akan mencari jalannya sendiri. Tapi tidak untuk pasangan hidup saya. Pasangan hidup saya HARUS (pada akhirnya) muslim.

Lalu memasuki bulan ramadan pertama kali di Jerman. Tidak ada yang menanyakan untuk apa puasa. hampir tidak ada. Namun tidak jarang yang bilang bahwa puasa tidak minum itu gak masuk akal. Saya hanya tersenyum. Disini benar-benar hikmah puasa terasa. Di Indonesia, semua orang puasa, bahkan oknum-oknum gak bermoral turut teriak untuk memaksa restoran tutup selama ramadan. Justru itu yang gak masuk akal buat saya. Inti puasa adalah agar kita mensyukuri apa yang kita miliki dan apa yang tidak dimiliki oleh orang yang kelaparan. Bukan sekedar tidak makan minum dan orang harus menghormati kondisi kita. Sedangkan disini? Saya merasakannya. Semua orang makan minum, beli eskrim, tidak ada beban didepan saya. Itu yang membuat saya berpikir,

"Begini ya rasanya jadi kalian, kehausan, cuman bisa ngeliat orang didepan kamu minum..."

Hikmahnya benar-benar saya dapatkan.

Dan meskipun saya sempat suatu hari kelaparan dikamar teman saya, lalu teman saya bilang "You can eat my food. I will not tell anyone. Nobody will know if you break your fast now"

Saya cuma ketawa... Saya tau dia bercanda.. Dan bisa jadi dia serius karena ga tega liat saya lapar.. Tapi alhamdulillah saya tetap puasa.

Lalu masuk hari terakhir, dan teman saya bertanya, "Kamu sampai kapan puasa?"

Saya dengan semangat bilang "Hari ini hari terakhir" :)

Dan senyum bahagia lebaaaaar sekali dari bibir teman saya. Dia menyelamati saya seolah saya benar-benar baru mendapat kemenangan. Somehow I feel so blessed that moment.

Kemudian ketika saya jalan pulang bertiga dengan sohib-sohib saya, mereka masih membahas hari terakhir ramadan saya. "Congratulation, Rara! You made it!" Dan saat itu saya bilang, sebenarnya puasa disini secara godaan makanan tidak terlalu mengkhawatirkan, karen ga ada yang enak :D. Tapi minum susah sekali. terutama kalau suhu diatas 34. Mereka akhirnya bilang,

"But for me, I couldn't even imagine myself fasting like you. Maybe I can be without food, but without water?"

Barulah saya menjawab, "That is how some people in a particular area of this world are struggling for starvation now. Could you imagine children with thirst outside there? This is the essential point of our holy ramadan." Mereka mendengarkan..

Dan sampai dirumah, ada pesan masuk dari satu dianatar teman saya barusan, bahwa dia mengagumi komitmen saya pada agama Islam. Terlepas saya jilbaban atau tidak. Mengagumi ajaran Islam, walau dia bukan muslim. Sesaat saya merasa menjadi gadis paling beruntung dan bahagia.

Ternyata pesan itu benar, tidak perlu menjadi yang terbaik, cukup jadi orang baik, maka lingkungan yang akan menghormati diri kita, bahkan agama kita.

Kembali melihat ke belakang, ingat pesan keluarga saya, yang penting jadi orang baik... Walau bahkan saya merasa buruk. Merasa banyak cacat. Saya akui saya jarang mengucap alhamdulillah, jaraaaaang sekali. Tapi saya lebih sering mengucap "Terima kasih ya Allah atas..........". Karena buat saya, itu adalah ucapan rasa syukur, yang bisa diucapkan melalui bahasa manapun. 

Apa yang saya harapkan pelan-pelan saya dapatkan. Langit Allah itu luas, bukan hanya di Indonesia, bukan hanya diatas Bromo Tengger, bukan hanya diatas ka'bah, bukan hanya diatas Raja Ampat. Langit Allah juga ada di Afrika sana, di tanah kering dimana manusia bisa mati dehidrasi. Saya ingin membentangkan sayap saya melihat segala bentuk ciptaan Allah. Saya paham sekarang, bahwa mencari iman tidak harus didalam masjid, tidak harus didepan ka'bah. Tapi dimanapun, dibawah langit Allah dan diatas tanah Allah. Ditempat terkotor maupun terbersih. Jika mata hati kita mampu, maka iman itu disana. terbukti bahwa keraguan saya pada Islam pun bisa dibantahkan bahkan di negeri yang bukan negeri Islam :)

Terima kasih ya Allah atas segala nikmat yang engkau beri hanya untukku, yang tidak bisa dinikmati oleh sebagian banyak orang. Terima kasih engkau menciptakanku di ligkungan keluarga yang mendambakan kesedarhanaan. Terima kasih sudah menjadikan saya khalifah menjadi diri saya sendiri. terima kasih sudah menutupi aib saya dengan pujian orang. :")

Happy Eid Mubarak Al-Fitr!