Senin, 28 April 2014

Indonesia Belum Selesai Melahirkan Pahlawan

“Perhaps it is our imperfections that make us so perfect for one another!” 
― Douglas McGrath

Mungkin quote tersebut adalah satu kalimat sempurna untuk mengawali tulisan saya hari ini. Kesempatan ini saya akan membawa kalian bertemu dengan salah satu sosok yang luar biasa melalui tulisan saya. 

Hari Kamis, dalam tarikh 24 April 2014 saya melakukan perjalanan dari Malang ke Probolinggo. Ini pertama kalinya saya mendatangi kota di pesisir pantai utara pulau jawa tersebut. 


Sampai disana, saya dan supervisor saya mengunjungi seorang, dan kata supervisor saya "Beliau itu ketua kelompok tani di sini". Sepuluh menit dari BLH kota Probolinggo dengan mobil, kami tiba di seberang jalan rumah yang kami maksud. Kami menyeberang jalan, juga menyeberangi rel kereta, dan tibalah kami ke kediaman orang yang kami maksud. Sesampainya disana, kami sudah disambut oleh beliau. Beliau bernama Muchlis (kalau mungkin kalian mau mengetahui info lebih detail, silahkan browsing melalui internet dengan keyword: Muchlis Ketua Kelompok Tani). 



Di dalam rumah yang sederhana itu, ada beberapa foto beliau dengan rekan-rekan yang datang menemui beliau baik dari dalam maupun luar negeri. Dalam hati saya "Wah, kayaknya ini orang penting..". Percakapanpun dimulai. Sedikit demi sedikit saya mulai paham alur cerita dari semua orang yang ada dirumah itu, dan saya mulai 'mengenal' sosok Pak Muchlis.

Pak Muchlis adalah pioneer penanam mangrove di pesisir pantai utara pulau Jawa. Mungkin kalau didengar itu hal biasa, karena toh sekarang ini sudah mulai banyak dan tak asing dengan pemberitaan 'hutan mangrove'  yang dikembangkan di Indonesia, terlebih dengan pemanasan global serta perubahan iklim yang kini menjadi isu utama. Tapi.......

Beliau menjadi pelopor sudah sangat lama. Sejak beliau masih muda hingga kini beliau telah sedikit demi sedikit menghijaukan pantai utara kawasan ini. Lantas, apa yang mendasari keniatan beliau tersebut? Membuat obyek wisata? Bukan itu. Untuk pamor? Jelas, bukan. Menyelamatkan lingkungan? Itu adalah nilai tambahnya.

Yang mendasari beli untuk menanam mangrove tak lain tak bukan ialah bertahan hidup.

Proses adaptasi, singkatnya.

Beliau tidak mengenyam pendidikan dengan layak seperti kita, beliau tidak punya ijazah, jadi bagaimana beliau mampu bekerja seperti kita pada umumnya dan mendapatkan uang? Karena hidup dalam kemiskinan, beliau mencari jalan agar dapat tetap bertahan hidup. Akhirnya, menanam mangrove menjadi langkah utamanya. Mungkin tidak banyak yang tau kalau bakau itu berbuah. Nah, buahnya itu yang dimanfaatkan oleh Pak Muchlis untuk dikonsumsi. 

Karena yang mendasari penanaman tersebut adalah "bagaimana supaya saya bisa makan.." tentu saja akhirnya beliau giat melakukan penanaman. Maha Besar Allah yang mampu melihat kegigihan hambanya, karena keniatan beliau, kini tidak hanya perut beliau dan istrinya yang memperoleh manfaat, tapi banyak petani yang bisa berkembang, dan penduduk kota pun bisa merasakan kesejukan pemandangan pesisir pantai utara di Probolinggo.

Kini, sudah lebih dari 70 hektar lahan yang ditanami beliau. Berkahnya? Saya tidak perlu menyebutkan ya, karena tentu saja manfaat hutan bakau di pesisir memang sangat banyak, salah satunya tentu mengurangi emisi GRK (karena saya bekerja di perikliman :D) dan juga berkaitan erat dengan jumlah produksi perikanan di sekitarnya. Karena itu, kini beliau mendapatkan berbagai penghargaan, bahkan telah dikunjungi oleh perwakilan berbagai negara asing. 

Sayangnya, beliau tidak lancar membaca dan menulis. Bahkan keduanya tersebut bisa dilakukan beliau berkat diajari oleh rekan-rekan dinas (alhamdulillah dinas di probolonggo sangat baik kinerjanya). Saya mau sedikit mengutip salah satu perwakilan dari BLH Kota Probolinggo, 

"Waktu Pak Muchlis mulai dikenal, banyak sekali yang bilang seharusnya beliau menerima penghargaan kalpataru nasional. Tapi beliau tidak punya sama sekali dokumentasi sebagai bukti usaha beliau. Ya gimana mau ada, wong baca tulis saja susah. Uang tidak ada, bagaimana mendokumentasikan? Makanya sekarang kami benar-benar membimbing beliau. Foto-foto dirumah tadi saja, itu kami yang memberikan ke pak Muchlis, kalo ga gitu, ya gak punya. Buku tamu sudah ribuan kali kami minta 'tulis pak, setiap ada tamu yang menemui bapak. Untuk dokumentasi.' Tapi selalu lupa. Bapak Muchlis itu terlalu baik dan lugu, sering ditipu jadinya. Ada yang datang pinjam uang, langsung dikasih. Kalau diingatkan 'Pak, hati-hati nanti kena tipu' selalu menjawab 'kalau ditipu ya sudah, rejeki pasti ada aja dari Allah' Liat sendiri kan tadi? Sudah serahin uang untuk buat pintu rumah, pintunya ga ada, uangnya dibawa kabur. "

Sedih mendengarnya. Orang yang begitu berjasa, begitu gigih, jujur, ada saja kesulitannya. Memang benar, semakin tinggi level kita, semakin banyak ujiannya. Mungkin itu yang dialami Pak Muchlis. Mungkin level beliau di mata Tuhan sangat tinggi.

Sedih ya... Kalau tau dan kenal secara langsung dengan orang seperti beliau, rasanya mudah sekali kita terbuka pintu hatinya, dan semakin sadar betapa banyaknya yang jauh lebih sulit dari kita. Bayangkan saja, saudara satu pulau kita (karena saya lahir dan besar di tanah Jawa), yang tinggal di pulau termaju di Indonesia, tidak terpisah laut dengan Ibukota negara, masih banyak sekali yang tidak bisa baca dan tulis. Lalu bagaimana yang di pulau lain? Nusa Tenggara, Papua, Kalimantan? Harus nunggu sampai bantuan negara asing datang, ya? Kalimantan, pulau yang kaya dengan sumber energi non-terbarukan, banyak yang wilayahnya gelap. Masyarakat adat yang tergusur karena pengerukan SDM. Yang diperkaya lalu siapa? 

Jangan sampai kita masuk ke golongan orang-orang yang "bertamu dan mengambil kekayaan tuan rumah dan bangga" :")

Quote awal tadi mewakili Pak Muchlis. Ketidaksempurnaan beliau, telah menjadikan kami merasa lebih sempurna :D

Rabu, 23 April 2014

scratchy throat

"Darling I love you"
"Well, that's good"
"Darling I am thirsty"
"Oke."
"Just oke?"
"Go swim"
"Why?"
"You will get water volume in pool"
"Why?"
"Why?"
"Why should I know the volume?"
"It will be much water. Come on. turn your stupidity off."
"I will get killed."
"Maybe, actually."
"Why?"
"Another why?"
"Why maybe?"
"Maybe. If only you drink much."
"You advice me to go swim."
"So?"
"So I'll drink over."
"Then?"
"I'm dying"
"Good."
"Why?"
"What else?"
"You said 'good' in a 'good way'."
"Yes I did."
"And why?"
"I love to see you die."
"You don't love me."
"At least I didn't say anything about love."
"Why?"
"I didn't say but prove."
"You prove me that you love me but you like to see me die?"
"No."
"You said that!"
"I prove you about love. I don't want you get thirsty then told you to go to swimming pool. You will find water there, you can drink. What do you expect? What can I expect from you?"
"What do you mean?"
"I mean, you don't love me."
"What?!"
"If you can't handle your thirsty and you only can said that to me and you ask me over and over again, then..... How can I believe that you love me?"

Sabtu, 12 April 2014

Matrealistis


Paragraf pertama ini gue buat paling terakhir, karena gue bingung ngasih judul ini apa. Tadinya mau ngasih judul 'Ibukota', tapi jangan deh. Akhirnya jatuh ke judul yang sekarang dipake. Semua yang ada di tulisan ini cuma pendapat. Ya nyadarin kita juga kalo pas kita lagi 'lupa diri', banyak banget yang terlupakan di daerah lain. No offense.

Sumber foto: entah darimana sumber resminya, tapi saya ambil dari twitternya 

Lagi-lagi mata tertuju pada suatu titik teratas nyaris dipojok kiri pulau Jawa. Suatu titik yang jika dilihat dari satelit malam hari menjadi yang paling terang diantara tempat-tempat lain di Indonesia. Suatu lokasi dimana semua berita setiap harinya memberi informasi tentangnya. Ya, tak lain tak bukan, ibukota Indonesia, tanah kelahiran saya, Jakarta.

Hari ini gue mau nulis tentang pengalaman gue dan temen gue, namanya Ijunk. Yaudah, anggep aja namanya itu. Sebelumnya gue akan ceritain latar belakang oknum dulu ya.

Dia itu lahir dan besar di Jawa Timur, dan bukan dari kota besar. Baru ketika kuliah do’i urbanisasi ke Surabaya, sama kayak gue. Cuma bedanya kalo gue ke Surabaya yaaa..... ya Jakarta sama Suarabaya ga ada bedanya. Sekarang do’i berjodoh dengan pekerjaan di Jakarta. Kasian. Itu aja yang bisa gue bilang. Meskipun gajinya gede, tapi tetep aja. Kasian. Doi di Jakarta hampir ga pernah main. Semuanya urusan kerja. Kasian. Lagi-lagi, kasian.

Nah, beberapa waktu lalu  pas gue pulang gue sempetin ketemu dia ngajak main (aslinya sih ngerampok, yaudasik biarin). Gue sama dia jalan-jalan  ke Pondok Indah Mall (PIM) dan yang pertama kali kami dan dia lakukan adalah makaaaaan. Ga ribet-ribet, kami milih pizza hut. PILIHAN YANG TEPAT SEKALI ^^. Njut.

Setelah makan, gue dan dia nyari boneka Brown, ituloh, boneka icon nya Line. Yang mukanya flat. Yang mau diapain juga ekspresinya tetep aja gitu. Nah sembari gue jalan sama dia, gue nanya kehidupan dia gimana selama di Jakarta. Dia bilang dia ga kemana-kmana. ‘Lagian di Jakarta mau kemana?’ Gitu katanya. #yabenerjugasih

Kemudian ternyata barang yang gue dan dia cari ga ada. Tapi kami belom mau pulang, akhirnya dia bilang ‘Pilih deh satu tempat buat minum yang enak, YANG MINUMANNYA ENAK, kita ke situ.’ Disinilah obrolan berat dimulai. Gue milih tempat-tempat yang lucu, (((YANG LUCU))).

Definisi lucu: interiornya cemmacem, atributnya beda, yapokoknyagitudehlupastipaham.

Dia gamau. Menurut dia, dateng ke cafe yang lucu, yang unik, cuma buat duduk terus mandang sekeliling itu gak masuk akal. Iya kalo makanannya worth to try, enak banget ga sekedar enak, gapapa. ATAU, versi unik menurut dia: blind resto, atau makanannya dibuat semenjijikkan mungkin jadi pas kita mau coba kita tertantang. Bukan cuma duduk di cafe yang temanya eropa, atau bendera-benderaan, atau banyak kacanya, yang bagus buat difoto, kata dia: ngapain? Buat meng-impress oranglain? Gak make sense kalo kata dia.

Dia mengatakan orang kota ini terlalu matrealistis, disuguhi yang gemerlap sedikit langsung bawaannya pengen nyoba, merasa ga hebat kalo ga nyoba, dan sebagainya. Gue mencoba melihat dari sudut pandang berbeda dengan menjawab dia, ‘ya karena pengen ganti suasana junk. bosen gitu-gitu aja.’ Dia bilang, ‘kalo tujuannya mau melihat sesuatau, ke taman lek, ke alun-alun, bukan cafe-cafe kayak gitu.’ Gue jawab, ‘Kan Jakarta sedikit punya kayak gitu.’ Dan ini sanggahannya, ‘Nah itu kan. Kasian kalian yang tinggal di Jakarta atau Surabaya. Lagipula, toko-toko kayak gitu lahir karena banyaknya orang matrealistis. Kalo mereka ga laku dan konsumen ga pengen kesana, pasti ya ga akan buka.’

Gue diem. Kalah. Ya bener sih yang diomongin dia.

Lanjut.

Gue dan dia kembali jalan nyari sesuatu. Dia ngeliat banyaknya anak-anak muda segala usia dengan segala model baju. Dari yang sederhana banget, sampe yang baju gaya kondangan ada semua. Sederhana kayak kaos, jeans, sendal, ada. Yang ginipun: kaos udel kebuka, hot pants, kets – black dress macem kondangan, jilbab dililit, heels, adak – semua ada. Semua. Literally.

Dia geleng. ‘Gila.’ Katanya. ‘jadi gini Jakarta? Seneng mempertontonkan diri dan menonton oranglain? Baru ngerti aku.’

Gue ya ga bisa ngebantah. Emang kenyataannya gitu kan. Cuma gue ngebantah kalo gue begitu juga. Gue tau tempat lah. Pake hot pants, kaos udel kemana-mana? Buat apa? Iya gue ga segitunya pengen banget mamerin perut rata gue B). Pake dress? Black dress? Heels? Ya gue begitu ke kondangan B). Ke cafe lucu-lucu? Ya emang sering sih kebawa gaya hidup orang lain, tapi baiklah. Akan gue rem kalo keinginan itu muncul kecuali emang ditraktir, atau emang makanannya yang unik, bukan tempatnya.

Jadi, lo mau anggep dia yang bener, atau mau anggep emang si Ijunk aja yang kelewat katro, itu terserah lo. :D

Yuk dadah bye!