Kamis, 30 Mei 2013

Selamat jalan kakak berkursi roda

Ini tentang temen saya waktu kecil. Bisa dibilang kami teman dekat dan kami bertetangga.
Dia perempuan, dan dalam ingatan saya dia cukup tinggi (setidaknya yang bisa saya perkirakan), berambut agak keriting (kalau saya tidak lupa).

Dia sekitar 4 hingga 5 tahun lebih tua dibanding saya. 
Sejak lahir, dia lumpuh karena Toksoplasma. Jangankan untuk berjalan, untuk berdiri saja dia tidak mampu.
Karena itu, sejak saya kenal dia, saya hanya ingat dia selalu berada di kursi rodanya.

Orangtua kami dekat, saya dan mama sering mengunjunginya, dan pada saat itu saya belum sekolah.
Setiap kerumahnya, tentu saja saya selalu main dengannya. 
Main apa? Apa yang bisa ia lakukan dari kursi rodanya?
Kami biasa main boneka pada saat itu, dan seingetku, kami juga pernah main lempar bola yang dimasukkan ke keranjang besi yang berukuran tinggi. Kami juga pernah keliling sekitaran perumahan kami. Kadang aku yang mendorong, tapi lebih sering dia mengatur sendiri kursi rodanya.
Iya, meskipun saya bisa saja melempar bola sambil berdiri dan melompat, namun saya memilih melemparnya sambil duduk. Hanya untuk menyamakan diri dengan teman saya ini.

Pada saat itu tentu saja tidak ada pikiran iba atau apa, yang ada dipikiran saya, apa yang ia lakukan, ingin saya lakukan juga. Malah kadang saya suka meminjam kursi rodanya ketika ia sedang duduk di kursi biasa.
Saya justru berpikir asik juga kalau saya bisa pakai kursi roda.

Tidak banyak hal saya ingat, karena setelah saya masuk TK, saya harus pindah rumah. 
Meski begitu, setiap kali saya ikut mama kerumahnya, kami masih sering main bersama.

Semenjak saya SD, mungkin sekitar kelas 4, saya sudah tidak pernah bertemu dengan dia lagi. 
Tapi namanya? Tentu akan selalu saya ingat. Bahkan wajahnya pun saya masih ingat hingga hari ini.

Dan kemudian pada tanggal 29 Mei 2013 mama saya mengatakan sesuatu pada saya. Wajahnya berduka.

"Rara, inget temen rara kak xxxxxx yang pake kursi roda?"

Jelas saya ingat. Mana mungkin teman saya saat kecil saya lupakan?
Kemudian mama melanjutkan

"3 Minggu yang lalu dia meninggal Ra. Gagal ginjal."

Saya tidak ingin menjelaskan mengapa bisa meninggal justru karena gagal ginjal.
Saya hanya ingin mengenang tentang dia.

Kakak itu, sejak lahir sudah divonis dokter kalau ia hanya mampu bertahan hidup selama 5 tahun.
Sekali lagi yang saya tidak paham, benarkah dokter BERHAK berkata demikian???

Namun kenyataan berkata lain, ia bisa hidup hingga ia tutup usia dengan umur sekitar 27-28 tahun. Hidup selalu diatas kursi rodanya. Dengan ibu yang begitu sayang terhadapnya.

Satu kata terakhir yang saya ingat dari ibunya 

"Tuhan udah ngasih saya bonus waktu banyak untuk mengurus dia.."

:")

Betapa cepat waktu berjalan. Betapa dengan tak disangka dan tak diduga kematian memisahkan antar manusia, siap atau tidak.
Betapa aneh rasanya membayangkan "kemarin aku main dengannya" dan hari ini ia sudah tidak ada di dunia.

Betapa kita sering menyiakan kebersamaan kita dengan orang yang kita sayang, hingga nanti perpisahan seperti ini yang menyadarkan kita, bahwa waktu tidak akan kembali..
Jika kematian yang merenggutnya.

Betapa kita suka lupa, bahwa tiap detik kita mungkin bisa menyusul mereka. Kita lupa, bahwa kita tidak hidup selamanya..

Selamat jalan kakak berkursi roda. Selamat jalan teman kecilku. Selamat jalan dan semoga engkau selamat hingga tujuan. Semoga Allah menerima semua amal dan ibadahmu. 
Terima kasih karena memberiku sedikit kenangan tentang kamu, memberi saya cerita tentang hidup diatas kursi roda. Terima kasih, kak :")

Maaf. Tangis. Marah. Tuhan

Tuhan, maafkan aku karena aku tidak mampu membendung rasa. 
Sekali ini saja, izinkan aku menangis karena hal seperti ini. 
Izinkan aku meruntuhkan dinding-dinding pertahananku yang esok pasti akan ku bangun ulang. 
Sekali ini saja. 
Karena mungkin..
Mungkin esok sudah akan berbeda. 
Izinkan aku menjadi manusia, manusia yang bisa menangisi sesuatu yang hilang.

Tuhan, maafkan aku karena melanggar janjiku untuk selalu kuat. 
Aku tidak bisa, Tuhan..  
Tidak tanpa aku mengadu pada Mu.

Aku marah, Tuhan.. 
Sayatan ini terlalu tidak wajar. 
Dan ini tidak adil.  
Semua buram.  
Kenapa, Tuhan?  
Kenapa aku ragu?  
Kenapa aku bertanya? 
Kenapa aku percaya? 
Kenapa aku harus ragu, bertanya kemudian percaya!!!


Aku sakit, Tuhan. 
Hanya engkau yang bisa menyembuhkan ini. 
Sakit ini. 
Sakit yang tidak ada satupun orang tau, hanya Kau. 
Dan aku marah atas sakit ini.

Izinkan aku tenggelam hari ini. 
Akan kudengarkan tiap deburan ombak yang berasal dari jiwaku. 
Jiwa yang kemarin telah terbenteng rapat. 
Kemudian angkatlah aku. 
Angkat aku kembali ke udara. 
Merasakan sunyinya angkasa Mu.. 
Biarkan angin mengombang ambingkan kepingan luka ini.
Dan jangan kembalikan aku ke darat. 
Darat terlalu keras untukku. 
Biarkan dulu ini semua ini mengering.  
Aku tidak mau terbentur lagi. 
Tidak, Tuhan.. 
Aku memohon pada Mu.

Namun begitu, aku tetap meminta ini pada Mu.. 
Tuhan, tolong rangkul ia.. 
Karena tangan dan doaku tak akan mampu melakukannya. 
Jaga ia, karena Engkau satu-satunya yang bisa, bukan aku. 
Tuhan, tolong dengarkan ia.. 
Karena aku tidaklah pantas mendengarkannya.

Dan Tuhan, hingga nanti tengah malam, dengarkan tangisanku ini..

-Rinjani A. Tunggadewi, 5 Desember 2012

-rarafatima

Senin, 27 Mei 2013

aku ingin senyum didepanmu

Aku yang dulu mengemis untuk melupakanmu, kini aku memaksa kembali untuk mengingatmu. 
Kembali ke tempat dimana pertama kali aku melihat mata dibalik kacamata itu. Melihat bibir yang tak banyak bicara itu. Melihat keanggunan yang sebelumnya tak pernah ku khayalkan. 

Mencoba mengingat kembali suaramu seperti mengingat bagaimana rasanya dilahirkan. Hampir mustahil. Waktu tersebut telah lama berlalu dan.... Dan aku tidak tau lagi bagaimana suaramu.

Kita tau tanpa pernah berjabat. Kita memandang tanpa memberi senyum. Kita merasakan tanpa berkata. Aku tau. Aku tau ada rasa itu. Rasa yang pernah ku rasakan yang kau sembunyikan. Kau lari dari rasa itu. Karena sebuah ketakutan yang hingga kini tak ku mengerti. 

Bisakah aku sekali lagi melihatmu secara nyata? Bukan dalam angan, bukan dalam kibasan khayalan, bukan dalam lapisan layar? Sekali saja. Aku hanya minta sekali. Hanya untuk menggenapkan pertemuan kita. Tidak adil rasanya mencintaimu begitu lama namun bertemu denganmu bahkan tidak habis menggunakan jari. 

Izinkan aku untuk melihatmu. Akan kutempuh dengan jalan apa saja asal kau mau bertemu lagi untuk kedua kalinya denganku. Kedua kalinya. Denganku. Untuk membuktikan padamu, aku bisa tersenyum untuk oranglain, tanpa terpaksa.

Birawa

mémoires

Malam ini rutinitas kami santai. Birawa ga ada manggung, ga ada latihan. Aku, sebenarnya ada yang harus diselesaikan, tapi stress minggu ini kayanya harus dibenahin dulu, jadi aku memutuskan untuk rehat sehari ini saja.

Kami duduk sambil ngobrol di sebuah kedai kopi di pinggir jalan. Suasana rilex, dekorasi kedai yang sederhana, bangku kayu yang diatur terkesan berantakan namun tetap teratur, meja-meja bundar yang berderet berjauhan masing-masingnya. Langit masih cukup cerah, dan karena kami memilih duduk di luar maka kami tidak membutuhkan lampu.

Malam ini cukup ramai karena memang udara lebih hangat daripada biasanya. Banyak pasangan muda-mudi, bahkan ada suami istri yang mungkin usianya sudah 60 tahunan jalan berduaan.

Kami memesan kopi favorite kami masing-masing. Dia memilih kopi yang lebih pekat dan aku memilih latte. Meskipun rilex, aku melihat Birawa membenamkan wajahnya kedalam buku catatan kecilnya. Dia bolak-balik menuliskan sesuatu, dan kemudian mencoretnya kembali. Berulang kali.

"Ra, udahan dulu kali nulisnya. Katanya mau istirahat." Kataku sambil ikut menunduk mendekati kepalanya.

Dia mengangkat wajahnya ke arahku, sedikit kaget karena suaraku. Tangannya masih memegang halaman buku catatan kertas miliknya.

"Aku lagi penasaran nih, Rin.." Jawabnya yang sebentar melihat kemataku, sebentar kembali lagi ke bukunya.

"Kamu lagi mecahin kasus emangnya?" sindirku. Jelas aja bukan, cuma aku rada kesal. Dia mengajakku keluar, katanya mau santai, tapi dia sibuk sendiri dengan buku tulisnya. 

"Ya engga.. Aku lagi ngubek-ngubek memori aku. kadang butuh suasana patah hati biar bisa bikin lagu bagus." Katanya sambil mengerutkan kedua alisnya.

"Hah?? Maksudnya?" Tanya ku bingung. Dia menghentingkan aktivitas menulisnya dan kemudian memainkan pensil di jemarinya.

"Gini, Rin.. Aku di targetin buat bikin 4 lagu. Marco bikin 3 lagu. Kamu tau kan bikin lagu itu ga gampang kecuali emang kamu profesional dalam hal itu. Akukan tergolong newbie."
Birawa mengacak rambut bagian belakangnya sendiri. Dia melipat tangannya dibalik kepala setelah ia menutup buku kecil tersebut. 

"Nah, buat aku, susah bikin lagu kalo kondisi hati lagi ga full. Full disini artinya, aku lagi ga sedih-sedih amat, juga lagi ga seneng-seneng amat. Hasilnya bikin lagu tentang jatuh cinta susah, bikin lagu tentang patah hati juga susah. Akhirnya sekarang aku harus ngubek-ngubek memori aku, inget-inget kejadian yang bikin aku patah hati."

Aku berpikir mendengar kalimatnya. Ada ya orang butuh perasaan sedih untuk kerja? Iya, mungkin diluar sana banyak, tapi aku baru kali ini ketemu yang begini. Dimana aku takut banget inget-inget hal sedih, dia justru butuh perasaan itu buat cari uang.

"Demi bikin lagu cinta?" Tanya ku mempertegas.

"Yup!" Dia merubah kembali posisinya. Kini ia mengepalkan tangannya sambil menopang dagu, matanya tertuju ke mataku dan kaki kirinya disilangkan ke kaki kanannya. 

"Kenapa harus lagu cinta?" Tanyaku sambil mengikuti posisi duduknya. 

"Konsepnya dari awal uda dibuat, Rin. Untuk kedepannya nanti ya bakal bikin tema lain juga. Untuk yang pertama ini aku bikin lagi cinta."

"Oh gitu. Eh ini kopinya dateng."

Angin bertiup membuat leherku kedinginan. Maka kuputuskan melepaskan ikatan kunciranku dan membiarkan rambutku menutupi leherku. Kupakai syal hitam pemberian Anda dulu. Kami menyeruput kopi kami. Sambil aku memandang suasana sore itu. Aku menyukai sore. Aku menyukai bangku kayu yang ku duduki. Aku menyukai payung meja yang super besar ini dan aku menyukai wajah stres Birawa. Aku menyukai semua kondisi di sekitarku saat ini, kecuali kecemasan Birawa. Aku menyukai kegiatan seorang wanita yang duduk sekitar 4 meter dari aku dan Birawa, dimana ia men-sketsa suasana sore ini. Disampingnya duduk kekasihnya (paling tidak yang kulihat begitu) sambil memainkan rambut si wanita.

"Rin.." Panggilnya memecahkan lamunanku.

"Iya, Ra? Kenapa?" 

"Kamu pernah ga mendem perasaan yang lamaaaa banget."

"Hmmm. Contoh? Nahan marah?" Aku belum sepenuhnya paham pertanyaannya.

"Bukaan. Perasaan suka misalnya. Kamu pernah ga segitu sayang atau suka atau cintanya sama seseorang, bukan artis loh ya! Dan kamu memutuskan untuk engga ngungkapin apa yang kamu rasain ke dia."

Aku berpikir. Berpikir keras kali ini. Seingatku aku belum pernah, atau malah tidak akan pernah memendam perasaan seperti yang ditanya Birawa. Atau mungkin sebenarnya pernah, tapi aku tidak sadar sampai akhirrnya perasaan itu hilang dengan sendirinya?

"Rinjani!"

"WHAT?!" Kataku kaget.

"Yeh dia bengong. Ditanya malah bengong."

"Iya bentar dong aku lagi mikir. Hmm.. Kayaknya sih engga deh. Kalopun iya, aku sekarang udah lupa kayanya. Lagian, apa ga capek hidup mendem perasaan begitu? Enakan dilupain." Jawabku enteng sambil kembali menyeruput kopiku.

Birawa melihatku sambil senyum, hanya melihat, ditambah senyum. Tidak dengan aktifitas lainnya.

"Kenapa ngeliat aku gitu?"

"Hahaha, soalnya aku iri sama kamu."

Alisku mengkerut, kenapa dia ketawa? Kenapa dia iri? Aku menggigiti sedotan kopiku sambil menghangatkan telapak tangan ke cangkir kopi milikku yang masih cukup panas.

"Kenapa gitu?" Tanyaku

"Rin, setiap orang yang pernah jatuh cinta tapi ga terbalas punya satu keinginan yang sama, yaitu ngelupain. Semua. Bullshit kalo ada yang bilang mereka mau tetap cinta sama orang itu meskipun ga terbalas. Tapiiii, ga semua dari mereka bisa ngelupain. Ada sebagian yang berhasil ngelupain setelah bertahun-tahun, ada yang sampe nikah tapi tetep keingetan sama orang yang dulu dia cinta tapi ga kesampean, ada yang beruntung, cari yang lain, terus lupa. Mungkin kamu salah satunya, Rin."

"Hahahahahahah" sekarang aku yang tertawa. 

Birawa itu salah satu orang yang ga banyak omong, dan ga banyak cerita tentang kehidupan atau masalahnya. Sejak aku tau dia dulu, aku cuma tau dia Birawa, ramah, tapi ga banyak bergaul seperti anak-anak ABG pada umumnya pada saat itu. Tapi sekarang, setelah aku lumayan kenal dia, ada sedikit perubahan. Dia tetap tidak banyak omong, dan ini membuatku nyaman berteman dengan dia, tapi ketika dia bercerita sesuatu tentang dia, banyak hal mengejutkan dari dia. Dia pandai bercerita, dan aku senang, karena dia mempercayai aku sebagai pendengarnya. Dia masih tidak banyak bergaul seperti dulu, bahkan setelah dia sudah memiliki grup musik seperti sekarang, dia tetap masih 'stay cool', tidak seperti cowok-cowok yang 'tau diri' kalau sudah terkenal dan punya banyak teman perempuan.

Aku tau, aku tau begitu saja tanpa alasan kuat. Terlepas ternyata dia tidak sebaik itu, ya sudah. Setidaknya selama ini sikapnya tidak membuatku jengah berteman dengannya.

"Terus Ra, kamu pernah?"

"Kamu mau dengar ceritaku? Bosen loh nanti." 

"Bosen ya tinggal pulang, Ra. Gampang kok."

"Haha, oke. Kasitau ya kalo udah bosen, nanti kita pulang."

"Raa, udah buruan ceritain. Sejauh ini tiap kamu cerita aku belum pernah sampe ke tahap bosen kok."

"Iya, Rin. Aku pernah. Aku jatuh cinta sama dia bener-bener pas hari pertama aku ketemu dia. Aku kenalan sama dia waktu itu tapi bukan dalam suasana 'kenalan sebagai pendekatan', tapi kenalan sebagai 'panitia ke peserta', sifatnya resmi. Dia ga cantik, biasa aja. Tapi aku tau banget dia smart....."

Tanpa disadari aku mulai hanyut dalam cerita dia. Aku memposisikan diri sebagai Birawa, namun tetap menjadi aku. 

"....Diajak kenalanpun dia ga antusias, biasa aja. Hari itu dia sibuk dengan laptopnya, sedangkan aku sibuk ngeliat dia dengan laptopnya. Nyali aku untuk 'kenalan untuk pendekatan' terlalu kecil. Tapi akhirnya aku temenan sama dia. Seperti yang aku tebak sebelumnya, dia smart. Dia punya inner beauty, dia ceria terus, jarang sedih. Sampe suatu saat aku tanya sama dia apa dikampusnya banyak yang naksir dia, dia jawab ga tau. Dia cuek banget. Tapi dia ga cuek sama aku. Aku pikir mungkin setelah kami beberapa lama kenal, dia bakal naksir aku. Dari media chatting, kami beralih ke sms. She is so attractive, dan aku tau banget aku bener-bener jatuh cinta sama orang ini..."

Birawa berhenti cerita untuk beberapa detik. Aku tau dia sekarang keingat sama gadis yang dia ceritakan. Matanya menerawang, sperti sedang berjuang menggambarkan wajah gadis tersebut di benaknya.

"... Waktu itu musim hujan, tiap hari di kota dia hujan, di Jakarta juga. Setelah aku yakin banget kalau dia udah suka sama aku, tiba-tiba sore itu dia sms aku. Dia bilang, selama ada aku, dia ngerasa hari-harinya jauh lebih berwarna. Ada aktifitas sepele yang dia lakuin selain kekampus dan dia seneng. Kemudian dia bilang kata-kata yang janggal. Dia minta maaf kalau dia ada salah sama aku, maaf kalau dia suka jutek sama aku. Dia bilang mungkin aku ga ngerasa kalo dia ada salah tapi dia tetep merasa ngelakuin kesalahan ke aku. Dan sejak saat itu, kami jarang komunikasi. Aku paham kalo itu adalah kata-kata perpisahan yang diartikan 'we cannot be like this anymore'. Well, aku cuma satu hari ketemu dia. Bener-bener satu hari. Tapi karena satu hari itu, selama 4 tahun tiap ada hujan, aku selalu mikir, 'Ditempatmu hujan ga? Kamu menikmati hujan kali ini ga?'. Ngebekas banget, Rin. Padahal cuma ketemu sheari."

"Sedih, Ra.. Kok dia tiba-tiba ngomong gitu Ra?"

"Aku juga ga ngerti. Sampe kamu tanya kaya begitu, aku juga ga tau ada apa sebenernya waktu itu."

"Empat tahun tadi kamu bilang? Ga pernah berhubungan?"

"Pernah. Tapi udah ga kayak dulu. Ya cuma sebatas kabar-kabari aja. Tanpa dia tau, aku masih sayang dan berharap sama dia setiap kali aku sama dia tanya kabar. Tanpa ketemu."

"Sampe sekarang?"

"Sekarang udah ga, Rin. Tapi aku lagi ngebangkitin lagi memori itu buat bikin lagu cinta. Geblek ya? Ngelupainnya susah, sekarang malah butuh buat cari duit. Haha"

Tidak hanya itu yang Birawa ceritakan, masih banyak lagi. Dia cerita semua hal yang pernah gadis itu katakan ke Birawa, sampe bikin Birawa senang, sedih. Dimana waktu Birawa lagi sedih2nya, gadis tersebut bilang 'Ga perlu senyum untuk oranglain, senyum untuk diri sendiri juga cukup'.

Dan karena sore ini, aku tau lagi tentang Birawa. Cintanya selalu tulus, dan cintanya seolah tak berdebu, sampai pada akhirnya waktu menyelamatkan ia dari kesedihan..

:)

-Rinjani Aurora Tunggadewi-