Selasa, 26 Oktober 2010

Lingkunganers

LINGKUNGANERS !

Ada keanehan, kebodohan, ketidak-masuk-akalan di sini. di Indonesia. di sekitar saya.
Apa itu?
Ini..
Saat saya memutuskan untuk mengambil pendidikan tinggi di jurusan Teknik Lingkungan (Environmental Engineering), seringkali saya ditanya, "kenapa ambil jurusan itu?", "mau benerin lingkungan ya?" , "karena lagi global warming ya?", "ihh, main sampah ya?"

Saat saya sudah berhasil mendapatkan apa yang saya mau, yaitu masuk jurusan kebanggaan saya, Teknik Lingkungan Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya, seringkali saya mendapat kalimat-kalimat begini:
"nanem pohon kan urusannya anak TL!"
"mana nih anak TL, kok jakarta-sby msh suka banjir?"
"km di TL? ngapain msk TL? lingkungan udah rusak parah.."

what a STUPID.

dan seringkali juga, jurusan saya dianggap jurusan 'gampangan'..

awalnya saya cuek aja dengan pertanyaan dan pernyataan seperti itu. tapi setelah dipikir-pikir, yang ngomong kayak gitu kok bodoh bener ya??

Kenapa?

Saya menjawab..
Saya masuk ke Teknik Lingkungan bukan karena global warming lagi 'naik daun', karena menurut saya global warming bukan cuman urusan dari orang-orang yang belajar di teknik lingkungan, TAPI urusan semua umat manusia sebagai wujud terima kasih manusia kepada Tuhan.
Saya masuk ke Teknik Lingkungan karena saya memang jatuh cinta terhadap Lingkungan, bukan karna embel2 pemanasan global atau 'tren' GO GREEN!.
Soal penghijauan atau nanem pohon itu bukan sekedar urusan anak TL. ya, benar, seharusnya anak TL-lah yang memplopori penghijauan. Tapi nanem pohon itu urusan kesadaran individu masing2. Itu urusan kesadaran akan kebutuhan manusia terhadap penghijauan. 

dan yang terakhir, saya terbesit dengan pikiran ini.. Jika banyak orang beranggapan masuk jurusan TL untuk memperbaiki lingkungan, sebagian benar, sebagian SALAH.
Menurut saya, orang teknik lingkungan adalah orang-orang yang mempelajari teknologi untuk kesejahteraan lingkungan hidup dan manusia yang menempatinya. Seperti contohnya, darimana air yang anda minum? itu adalah teknik yang dipelajari di TL. bagaimana sistem Plumbing di gedung anda? itu juga termasuk bidang kami. bagaimana caranya agar mutu air dibadan air lebih baik? itu juga bagian kewajiban kami, bagaimana cara mengelola sampah-sampah yang dibuang baik dengan benar maupun tidak oleh umat manusia di dunia? itu juga kewajiban kami.
dari uraian itu jelas, kami belajar untuk menguasai teknik2 tersebut untuk kesejahteraan manusia.
TAPI, untuk urusan banjir, timbunan sampah TIDAK-PADA-TEMPATNYA, dan masalah2 lain, itu bukan tanggungan kami!

kenapa????

kami belajar untuk dapat merancang untuk anda, kami bekerja juga untuk anda, TAPI semua itu akan sia-sia jika pola pikir manusianya tidak diubah.
sebenarnya, yang RUSAK ini bukan lingkungannya, TAPI manusianya!

That's it!

Lingkungan tidak akan rusak jika bukan karena manusianya, alam tidak akan marah jika bukan karena manusianya.
Dan yang perlu diubah disini adalah pola pikir manusianya, bukan lingkungannya.
Sebaik-baiknya sesuatu, jika tidak didukung oleh banyak orang, hasilnya NIHIL..
saa halnya jika ontohnya, sistem drainase sudah dibuat sebaik mungkin (oleh orang TL), tapi orang-orang membuang sampah 'sak karepe dewe' ke kali atau sungai, ke got, akhirnya saluran terhambat. Sia-sia kan saluran itu dibuat?? dirusak juga sama orang-orang sampai banjir.

setelah banjir, kita menyalahkan pemimpinnya, menyalahkan oranglain..

inilah aneh dan 'uniknya' Indonesia...

semoga masa depan kita bisa lebih baik :)

GO LINGKUNGANERS :)

Senin, 25 Oktober 2010


Mama.. Papa..

Dua manusia yang sangat aku cintai.
Aku masih bisa disebut manusia egois, karena aku masih sering berpikir bahwa mereka tidak boleh ‘meninggalkan” aku.
Kini tiap pagi ketika aku membuka mataku dari tidur, ketakutan itu selalu datang.
Bagaimana jika hari ini adalah waktunya? Ketika aku tidak bersama mereka? Bagaimana ketika saat mereka dalam perjalanan mengunjungiku justru terjadi hal yang buruk dengan mereka?
Tidak..
Aku tidak mampu membayangkannya.
Aku begitu ketakutan tiap kali memikirkan kesana.
Ketakutanku amat besar.
Kini mereka telah menua, uban sudah menutupi beberapa helai rambut mereka, penyakit mulai mendatangi mereka.
Ketakutanku makin nyata.
Buka ia, bukan ayah, bukan ibu, tapi mereka berdua, ayah dan ibuku. Dua-duanya. Aku takut kehilangan mereka. Aku belum siap.
Aku ingin melakukan sesuatu agar mereka selal terlindungi.. tapi apa? Bagaimana?
Ayahku.
Dia pekerja keras,  ketika i tidur, aku menatapnya dengan hati gemetar. Wajah itu, tubuh itu, masih ada berapa waktu lagi untuk bisa melihatnya. Mendengar nafasnya.
Ia yang selama ini memberiku makan,membayar keperluan sekolahku. Baju ini, yang kukenakan ini, adalah jerih payahnya. Blog ini, tidak akan kubuat jika aku tidak punya fasilitas memadai darinya. Sekarang ia menua, tidak selincah dulu. Aku ingin memeluknya erat setiap aku mampu.

Ibuku.
Aku menangis melihatnya tertidur. Dibalik semua amarah2nya, dia lah yang berjasa mendidikku. Dia yang memberiku ketegaran saat aku menangisi masalah. Dialah yang memlukku ketika aku pertama kali harus pergi dari lingkungan amanku, dia yang selalu menanyai kabarku setiap hari. Kini ia menua. Sudah saatnya ia yang menerima perlakuan2 baik seperti itu. Dimana aku? Aku tidak bisa disisinya untuk membantunya. Kini ia sakit, ia sendiri. Namun tidak mau merepotkan siapapun. Hatiku menjerit mendengarnya.

Ayah, ibu, jika ada orang yang pertama kubela adalah kalian..
Aku sayang kalian..

Sabtu, 23 Oktober 2010

gulali-lengket present :9

cheese cake delicious fruits :

















*bisa buat gantungan kunci, magnet kulkas, gantungan hp, pin baju, dll*

strawberry cupake :












sileher panjang

new quotation

this is how i feel.
this is an amazing "suites"

this is how my love , my affection , my struggle , my dream , my climb , my reciprocity , my fortitude , my patience , my ambition , my wishes , my reality , i wrap with a great pray and perfectly until the end i could open'em with ...

happily ever after
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

 







 

singkirkan budaya menghukum di Indonesia

Thursday, 15 July 2010
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.


Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.


Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.


“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.


Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.


Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.


Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.


Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.


Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orangorang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.


Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya,dapat tumbuh.Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.


Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)


=RHENALD KASALI=
Ketua Program MM UI

i found myself in wonderland :)

kehidupan..
apasih yang kita bayangkan tentang kehidupan ini?

ahh, aku udah jengah sama kebohongan2 kehidupan.
jika ada pilihan mau hidup di kehidupan ini atau dongeng, pasti aku milih dongeng.
disana mau bergaya aneh juga ga ada yang usrek-usrek ngomongin dibelakang, seunik apapun orang diterima dengan ramah,ga ada orang ngomong "ih, apaan sih itu orang gayanya" atau "aduh, orang itu aneh banget sih".
disana kedamaian sesungguhnya benar-benar nyata. disana keramahtamahan bukan hal yang dicari, karena hal itu sudah biasa. disana penuh tawa, bukan penuh cemoohan.


sedangkan didunia? yaah, dunia ini fana.
jangan berharap kamu mau berpenampilan berbeda, karena pasti kamu bakal jadi bahan omongan. jangan sampai kamu memakai sesuatu yang unik kalau kamu tdk cantik atau ganteng, karena kamu bakal jadi bahan cemoohan. jangan sampai kamu jadi kaum minor, karena suaramu cuman dianggap angin.
 kamu mau mencari kedamaian? disini bukan tempatnya. disini cuman ada persaingan, yang kalah akan diinjak2, yang menang akan tertawa dengan perut buncit. kamu ingin mencari keramahtamahan? ya, disinilah tempatnya. tapi ingat, keramahtamahan yang kamu dapatkan disini berbeda dengan di dongeng. Jika dongeng memberimu senyuman manis yangtulus, disini seringkali kamu akan mendapatkan senyuman dan keramahtamahan PALSU. jika kamu dibutuhkan, orang tersebut akan memberimu senyuman luarbiasa hangat, seolah kamu adalah teman karibnya, namun jika kamu tidak dibutuhkan, bisa saja kamu bahkan dianggap batu. Dia lewat didepanmu, kamupun tak dilihat.
inilah hidup. bukan tempatnya bersenang-senang. ini adalah tempatnya bersusah-payah mencari apa yang kamu harapkan. kamu lalai sedikit, kamu akan gagal.

namun jika ada pilihan ingin hidup didongen atau di realita, pasti semua orang akan memilih hidup di dongeng. jadi ya sama saja, cerita dongeng akan rusak sama halnya dengan kehidupan karena diisi dengan orang-orang yang sama.

Karena dongeng tidak mungkin ada, dan hidup sudah pasti harus dijalani, yasudah, dijalankan saja dengan lapang dada.. tempat terindah hanya 1, yaitu surga.. jika kita telah mendapatkannya, tidak ada lagi cerita dongeng yang ingin kita datangi.
jika dikehidupan kita menemukan sesuatu yang menyenangkan, itu adalah cara Tuhan mengingatkan kita akan syukur kita kepada-Nya. kita diingatkan oleh Tuhan seolah Tuhan berkata bahwa tempat indah ini hanya sebentar, jika kamu ingin berlama2 ditempat yang seindah ini, maka lakukanlah apa yang Tuhan perintahkan, maka kamu akan mendapatkan surga yang seutuhnya...


:)